Jumat, 28 Desember 2012

Sajak yang lahir di musim kemarau

Waktu sore kita bersama-sama berjalan melewati ladang yang gersang
sementara kemarau turun ke bulu-bulu mata dari puncak-puncak cemara

Cahaya matahari berseteru pada alang-alang pada suara-suara ranting yang patah
pada jerit-jerit bunga.. pada kalimat-kalimat yang terbawa angin.

Maka waktu kita berjalan,
ada yang diam-diam
menunggu kita di sana

Jumat, 21 Desember 2012

Empat alasan saya benci bulan Desember


1/
Saya benci bulan Desember yang selalu datang dengan basah dan tidak pernah surut.
Desember yang rindunya meluap hingga semata kaki,
Ketika saya terpaksa harus berlari sepanjang trotoar menerjang hujan yang rintih-rintih
hanya agar segera sampai di rumah untuk mencari hangat mu di seberang telepon.

2/
Saya benci bulan Desember yang serupa pohon cemara yang kuyu,
yang retak dahannya menahan embun agar tak lekas lepas dari tepinya
Embun yang tak perlu berwarna untuk membuat daun jatuh cinta.

3/
Saya benci bulan Desember yang mengingatkan tentang cangkir mu yang
kau tinggal di rumah ini. Cangkir keramik bergambar bunga warna-warni,
cangkir yang kita beli setahun lalu, cangkir yang menahan setiap retak kisah
yang lahir di sini.

4/
Saya benci bulan Desember ketika para tetangga merayakan tahun baru,
ketika kembang api dan petasan berpendar lalu meletus di angkasa
ketika saya sadar ternyata letupan itu juga terasa hingga
jauh di dalam dada..

21 Desember 2012
Jakarta

Rabu, 12 Desember 2012

Suatu pagi aku melihat mu memasuki pagar rumah


Angin pengarak pagi terdampar di depan kamar ku
pada hari minggu ketiga setelah akhir November.
Siut bubungnya mengajak aku turun ranjang 
dan melompat ke halaman. Menyerahkan diri menjadi
kata-kata dalam sajak yang di ucapkan kelak
ketika suatu saat nanti kamu ingat pada ku.

Waktu nanti, tumpahlah rindu berderai-derai 
dari langkah mu yang tergesa-gesa 
memasuki halaman rumah. Melompati pengandal
yang aku letakan sebagai penahan pagar
agar tak rebah.

Aku melihat mu membawa jenang putih dalam mangkok
yang terbuat dari daun pisang lalu ditaburi dengan gula merah
yang diiris tipis diatasnya.

Mata mu lekat seperti madu, rambut mu merah
seperti jagung. Senyum mu terasa cecap manis di
ujung bibir..

Pohon mangga menyambut kita dengan gelisah.
Cahaya matahari susut berhambur di sela-sela daunnya.
Sebagian jatuh ke pundak mu hingga nampak bercahaya

bumbung angin hening berhembus.
kita berdua diam dalam
sepi yang menghunus 

2012

Senin, 10 Desember 2012

Pohon mangga kita yang meranggas


1/
Pohon mangga kita tidak pernah berbuah lagi.
Semenjak ibu meranggas menjadi
daun-daun kuning yang gugur -Seorang perempuan
yang menyematkan dadanya
menjadi alamat rumah bertahun-tahun.
Menunggu sebuah jantung kembali
ke dalamnya untuk kemudian berdetak
seirama nafas.

Kata ia pada surat yang tak pernah dikirimnya:
Kemana jantung mu berpulang?
Aku semata angin yang membumbung melewati
celah dinding rumah kita yang retak.
Membawa lembab dan dingin ke dalam
tulang-tulang ku.
Mengenang mu sebagai akar tubuhku yang tumbang
terangkat dari kerak pikiran ku.

Ia lipat surat itu perlahan-lahan lalu
Ia remas untuk kemudian diselipkan
ke dalam mimpinya.

2/
Pohon mangga keluarga itu tetap saja tumbuh
dengan daun yang makin sering terlepas dari tangkainya.
Satu per satu setiap sore, setiap kali
hari menutup tanpa ada suara langkah
kaki memasuki halaman.

Aku mengumpulkan daun-daun itu
kemudian membakarnya. Aku menatap
ibu bergetar di teras pintu setiap
kali aku melakukannya.

2011

Kamis, 06 Desember 2012

Jembatan extravaganza di musim hujan yang kadang jadi tempat berteduh sebagian dari kita


Perempuan yang bercumbu dengan musim itu
menjatuhkan juga dirinya di bawah pohon waru yang tumbuh di sela-sela jembatan layang. 

Angin yang lewat hanya diam lalu menterjemahkan gerak daun yang gelisah di ranting yang kesepian.
Suara derap langkah kaki mereka seperti hendak menuju ruang kelam,
ada yang merasa kehilangan dan mencari pegangan.

Apalah arti perempuan yang bercumbu dengan musim itu
ketika telah menyala api tidak di mata
tapi di dada -seperti baru membikin sebuah karangan sajak.

Lalu terbakar,

Lihat, lihat! Kita menukar, bersembunyi lalu menikam nasib diri sendiri
yang bersembunyi di belakang lebatnya polusi
kemudian menenggelamkan kepala 
kepada ruang kosong
dan segelas kopi starbucks 
setiap pagi ketika menyalakan komputer 
lalu bersemayam di atas tumpukan angka, inflasi,
kebijakan finansial dan utang luar negeri.

Tak ada alasan untuk bergembira selama masih ada
perempuan yang bercumbu dengan musim.
Mengingatkan ku kepada pisau dan tali
kepada yang sia-sia membuka mata waktu pagi,
menggantungkan dirinya pada pucuk paku di dinding tua.

Maka sebelum janji tuhan turun kepada kita,
binasakanlah napas dan bahasa yang meleleh dari dada
menerbitkan salju pada musim kemarau
seperti jatuh dari mimpi 

Slipi 2012

Minggu, 02 Desember 2012

Gadis Penjual Teh di Selatan Pyongyang

Dalam kedai ini hanya ada kita berdua,
duduk di sebuah kursi di tepi jendela.
Kau senang berbincang tentang cuaca,
juga perihal mengapa jalan dan danau lembab di bulan September.
Sebab kau mengira aku seorang yang lahir dari planet yang berbeda,
kata mu sambil meniupkan uap teh dalam cangkir yang wanginya menyelinap hingga
ke rongga dada ku yang hampa. Memandangi bulir air hujan yang turun di kaca jendela.

Kita seperti bunga Magnolia yang tumbuh sebelum musim panas. Kita semua adalah
anak-anak cahaya matahari yang lahir dari rahim hujan ketika ia membuahi bumi.
Katamu tanpa menghiraukan detak jarum jam yang nampak menghitung titik-titik sepi
di dinding-dinding kedai teh ini.

Mengapa wajah mu nampak sangat berbeda, wajah laki-laki yang halus. Negeri apa yang kau tinggali?
Dengan sulit kau melafal Jawa,
lalu aku bercerita tentang suku yang berasal
dari sebuah pulau yang tak pernah berhenti jadi tempat penguasa mengorbankan rakyatnya.
Di sebuah negeri kerajaan yang telah porak poranda. Hingga sebelum sempat aku selesai bercerita..

Pemimpin negeri kami tak seperti itu.. Kau membalas dengan mata yang nanar.
Suara burung Chamsae mengaung mematah-matahkan kegundahan.

Kau diam tersenyum memandangi ku yang meminum teh ini sedikit demi sedikit.
Seperti memandangi ku menghapus kesepian mu perlahan-lahan.
Seperti menahan lajur waktu.

yeogiseo gidalyeo..

2102







Kamis, 29 November 2012


jalan

Kita pasrah saja ketika jalan mendadak ngambek,
lalu meminta kita memutar arah.
"Di depan sudah tidak ada lagi tikungan, tidak ada persimpangan, tidak ada cara 
lagi untuk kembali ke tempat asal"

Lalu kita kembali ke arah selatan.
Lho, ternyata matahari sudah menghilang.

Juga engkau.

2011


Sajak Gombal

Jika saja tidak ada huruf A
mungkinkah masih ada aku dan engkau?

2011


Gelembung

Rumput jika di injak apakah menangis?
Pagar jika di tutup dari luar apakah akan rindu?
Sabun yang habis di kamar mandi apakah akan
menjelma menjadi gelembung-gelembung
yang melayang di dalam mimpi mu
ketika kau tidur?

2011


Catatan

Catatan itu tergeletak begitu saja di sudut ruangan,
hampir mati karena kesepian.
Di sebuah sudut yang tidak dapat kau jangkau dengan lengan.
Tidak dapat juga kau jangkau dengan kata-kata..

2011


Kamar

Lampu bertanya pada jam dinding. Jam dinding bertanya kepada
kalender, kalender bertanya kepada kipas angin,
kipas angin bertanya kepada cermin.
Perihal kepergian mu yang tiba-tiba
pada suatu malam bersama mereka,
yang tak mengenal mu.

2011


Petang yang menantang

Pada sebuah petang ia telanjang,
menantang senja yang kemerahan.
Karena malu, sebuah tubuh telanjang dipersembahkan
untuknya.

Senja pasrah ketika lengan-lengan ombak
meraihnya.
Memeluknya ke tengah laut.
meneduhkan sedihnya.
Memeluhkan lukanya.

Pada sebuah petang ia telanjang,
pada pantai yang mengangkang.

2011

Kamis, 22 November 2012

Propaganda upacara bangun pagi dan definisi lari


Saya tidak mencoba untuk berlari, karena saya benci berlari, saya ingin berjalan saja, tapi semua orang berlari. Kucing berlari, gajah berlari, kecoa berlari, tikus-tikus berlari, hingga papan-papan iklan juga terus mengajak saya berlari. Mencoba memahami definisi diri yang makin abstrak dalam kepungan warna merah, kuning, biru, hijau, merah lagi, biru lagi, hijau lagi, hingga semua seragam seperti barisan nisan dalam kuburan yang siap menanti  manusia-manusia yang telah menjelma menjadi Nike, Motorola, Nokia, iPod dan keseragaman telepon genggam layar sentuh.
Saya tidak berlari, saya ingin minum kopi. Saya ingin setiap kali dapat menghitung mundur senja seperti merayakan tahun baru. Berpesta merayakan kelambatan, kehidmatan,  tanpa harus di hantui propaganda usang “time is money” Propaganda yang merayu saya menukarkan waktu dengan uang. Membuat saya lupa bahwa kesenangan tidak bisa di beli dengan apapun. Sehingga saya mencoba untuk menghitung mundur jarak antara saya dengan kematian sambil berbincang soal skor bola dan episode sinetron religi.
Saya ingin mencoba sekali saja tidak berlari tidak juga diam. Saya ingin terbang dan tidak harus ke angkasa. Saya ingin terbang ke sudut-sudut lubuk mata buruh tani, saya ingin terbang ke sela-sela bibir pelacur pinggiran, saya ingin terbang ke bahu kuli-kuli bangunan, saya ingin terbang dan menampar pipi saya. Saya ingin sadar bahwa saya sedang terbang. Melayang ke belantara sajak dan jejeran kalimat puitik imajiner dari Chairil hingga Sapardi, dari Chekov hingga Munir. Dari Kennedy hingga Megawati. Dari jantung ku hingga jantung mu.
Saya ingin mengucapkan selamat tinggal kepada sepatu, namun ternyata saya hanya menjelma menjadi jejeran balok-balok di stadion tempat ribuan orang bersepakat untuk terus berlari setiap kali bangun pagi.

Oh indahnya dunia yang sudah pasti!

Slipi, Jakarta 2012

Rabu, 07 November 2012

Sebelum berangkat

1/
AKU sedang memuatkan dirimu dalam diriku. Di hari sebelum aku berangkat. Sesungguhnya perjalanan adalah persinggahan sementara, fatamorgana antara jejer jendela dan perasaan rindu yang menolak terpendam sebagai rahasia. Besok lingkar cuaca akan menghampiri kita dari setiap kilometer.

2/
AKU ingin pergi jauh dari mati, aku merasa dirimu yang senang mengajakku ke mana-mana, adalah dunia yang luas dan kita berdua berperilaku apapun yang kita mau. Aku mengangankan dirimu dalam diriku di jangkau cahaya yang jatuh ke kening mu ketika kau pulang dari kantor. Sebagai isyarat bahwa jarak pulau ini dan kau di pulau sana adalah serupa kurva limit x mendekati tak terhingga. 

3/
AKU dan seluruh kata-kata dalam pusiku tak mengapa hanya akan menjadi rumusan angka diantara table excel dan setumpuk hasil statistik yang tak menyebut hujan sebagai dirinya yang selalu aku bayangkan menuntun mu melewati tepi trotoar. Dengan begitu, seluruh warta dan perih di antaranya, mengalir menjadi cerita sedih tetang akhir minggu yang sepi ke padaku. Ke titik nadir ku.

(Angin melayang menabrak jendela, aku masih terjaga tanpa alasan. Maka aku tulis puisi yang amat gelap. Sehingga aku bayangkan jika kau tiba di dalamnya. Kita akan saling berpegangan mencari cahaya, menolak terpendam dalam gulita-pada akhir yang tabah)

Slipi - Jakarta 2012

Jumat, 02 November 2012

Senyum, Kabut, dan Perjalanan


Bertahun tahun aku menyusuri senyum mu. Pergi ke segala penjuru arah
Mengikuti setiap petunjuk jalan dan tikungan. Menembus ladang, memotong simpang, hingga liku-liku yang ngilu.

Aku mencatat banyak nama tapi bukan milik mu, menggambar banyak wajah tapi bukan dirimu.
Memilih cuaca tapi bukan untukmu. Mengarungi ombak tapi bukan rambutmu, menghempas diriku
di anak sungai lalu membiarkan tubuhku di rambati  yang bukan air matamu.
Aku mendatangi tebing, menghitung susunan perahu di dermaga, mengunjungi setiap etalase kaca di Jakarta. Merangkai trotoar di jalan jalan jogja. Menabur bunga di setiap pura, hingga meledak di di tepi senja.

Aku mencari senyum mu di ranting ranting pohon kering, galeri galeri seni, buku-buku puisi, hingga panggung panggung pentas yang megah. Aku kembali ke rambatan tiang, ke sudut sudut remang, ke tempat sepi mencari sunyi. Suara riuh pasar, ruap kereta yang terlambat, serta doa doa yang di jual di gerbang makam. Bahkan di pelosok kanvas yang paling suram.

"Senyum mu menjadi rembang di kabut malam"

Aku kasmaran mendengar namamu di sebut di katalog lukisan. Diam diam aku pulang, melewati arah selatan.

Mencari jalan pulang. Siapa tau senyum mu sudah menunggu dengan sabar di rumah, sudah merawat
kembang di halaman, sudah mengunci pintu, meletakan taplak meja dan mengganti keran yang tak pernah berhenti menetes. Terus menerus berulang seperti lagu yang diputar di lobi hotel. Tapi rindu bukan sesuatu yang dapat di nikmati, rindu adalah luka yang menganga siap menghisap tubuh ku ke dalam arus darah mu. Menembus jantung mu, membabat habis oksigen yang kau peluk erat erat. Lalu mengganti nafas mu dengan udara yang kusimpan berabad abad.

"Tuhan, sebutkan keinginan Mu"

Aku berlari hingga ke selokan yang paling hitam. Kususuri tikungan dan gang, ku rampas minuman yang paling keras hingga aku kehilangan siang. Aku mengutuki gerimis yang membawa pulang rindu, serta bulir bulir tetes air hujan di rambut mu yang kuyup suatu pagi, ketika jalan masih lengang dan kau berdiri di sejenak mengeringkan rambut mu di luar.

"padamkanlah nyala di dada mu"

Bisikmu yang terdengar seperti puisi yang tak bisa kumenerti, tak bisa kupahami. Membawaku ke gurun yang lengang, mencecap keterdamparan, meneguk keterasingan. Ingin berlayar, ingin terus mengunjungi setiap tiang dan liang. Mendayung perahu, menggali kubur di tanah sajak. Menunggu senyum mu datang di hari ketiga dan memeluk tubuhku seperti Maryam kepada anaknya. Senyum mu akan bersanding seperti Allah yang memberkati  wajah Isa. Nampaknya senyum mu akan menangis, seperti Denpasar yang diguyur gerimis.

Sanur Seminyak Denpasar Jakarta 2010 - 2012

Tanjung Karang dalam versi lain

1. 
Maghrib jatuh ketika gerimis turun setelah sepanjang siang 
matahari masam menggugurkan kapas yang melayang di aspal
membuntuti ku di antara akasia sepanjang raden intan.

2. 
Aku ingat simpang beringin dan gugur daun
yang melayang menabrak sisi kaca mobil angkutan.
Besiasat meluncur di jalan besar 
bersamaan dengan mata kita yang tak sengaja bersitatap dengan jarak
yang tak lebih dekat dari selebar lengan.

3. 
Ingatkah kau tentang peristiwa daun mangga 
yang jatuh di sisi jendela kita suatu pagi? 
Yang mengingatkan mu tentang beberapa cerita yang telah lampau. 
Tentang keinginan mu untuk segera meninggalkan kota ini. 
Juga kepasrahan mu di setiap doa yang kau baca lalu kau simpan.

4. 
Menulusuri sepanjang rel yang berkarat
seperti menyimpan kenangan jauh di masa lampau,
tentang jalan batu yang berdebu, juga pegangan tangan ibu 
yang membawaku ke tengah pasar.
Serta perihal kereta angin yang aku kayuh secepat rindu bisa melabuh.

5.
Sepi pernah mengisi separuh dada ku, separuh lagi
menjadi ricik dan ranak sungai yang menyuburkan ladang kita 
menjadi hutan hutan hijau yang berdaun lebat.
Tempat aku tersesat di dalamnya.
Memanggil manggil nama mu yang aku lupa wajahnya.
Membacakan puisi di teater terbuka atau sekedar menyaksikan punggungmu yang bercahaya.

6.
Suatu pagi hujan turun dalam simfoni lagu melayu
yang kita nyanyikan bersama sama.
Di selapang pantai putih dan amis masam nelayan di pesisir kota.
Ingat kah kau? Telah sepanjang malam kita menjaring harapan.
Bersama keinginan yang menggigil. Dan sedikit pilu yang mengering.

7. 
Aku pernah bermain main di tepi laut,
berbaring di atas pasir lembut seperti pelepah yang terdampar.
Angin pernah mencium mutiara di ujung rambutku.
"Engkaulah penyair sejati yang membaca sajak dari lembar ombak"
bisiknya, lalu melempar tubuhnya menggiring air laut yang menggulung.

8.
Di jembatan kereta yang tinggi itu,
aku pernah merasa takut untuk tergelincir.
Meski aku lekat menggengam lengan mu,
tapi aku selalu takut ketinggian.
Tunggulah, katanya, kita akan cepat sampai di seberang.

9.
Aku sering berdiri di belakang gedung yang menantang senja.
Melingkari matahari dengan jari telunjuk, lalu menghitung cinta 
sebagai kekayaan. Begitulah caranya agar nampak bahagia.
Sementara kesedihan adalah harga yang di bayar untuk
mengerti arti dari bersyukur.

10.
Maka setiap kali aku melewati jalan jalan lengang ketika pulang, 
ketika rindu seperti senar yang menegang:
Dalam jejer lampu merkuri kusaksikan
Lekat tubuhku di peluk kota ini.
Hangat.

Seminyak - Sanur - Jakarta 2012

Senin, 29 Oktober 2012

Tentang keberangkatan

Ransel yang sudah padat dengan barang barang
juga harapan harapan tergeletak sembarangan
Engkau masih ingin lebih lama lagi di sini,
sekedar semalam saja untuk berbincang di meja makan.

Namun jam dinding berdetak nyaring,
keberangkatan bukan pekerjaan gampang jika perasaan dan pikiran
disayat sayat rindu. Sambil terpejam kau bayangkan lingkar jalan
baris kursi dan jejeran pohon di tepi jalan. Betapa menakutkan
bertarung melawan rindu sendirian
yang banyak pasukannya. Namun masih ada ranjang, kelambu
kasur yang dingin, bantal serta guling. Juga jas hujan yang tergantung.
Ah, meninggalkan bukanlah pekerjaan mudah jika 
kangen dan cinta mu masih berserak di perkarangan.
Jika beranda dan detik jam seperti berseteru tentang perasaan.

Ketika waktu sudah habis, kau tidak langsung mengucapkan salam
Tapi menarik napas agar dadamu ringan. Kau menarik nafas panjang.
Sambil membuang kalimat kalimat yang sudah lama kau persiapkan.
Dan ingin babak ini cepat berganti. Kau cari empat puluh lima suku kata
Tapi yang muncul tujuh belas sehingga kalimatmu padat dan singkat.
Akhirnya kau hanya diam dan tersenyum, 
Hanya diam dan tersenyum, sambil merindukan waktu untuk pulang.
Tapi akan banyak hal terjadi nanti.
dan kau akan membingkai rindumu dalam pigura,
itulah kenangan yang pernah kau bawa
sambil bergumam merindukan tanah penuh bunga.

sanur 2010

Tentang pikiran pikiran di Pesawat

Pesawat yang mengambang di antar kotamu dan kota itu
di antara udara dan cuaca yang terjebak di ranting ranting pegunungan
dan aku duga sebentar menjatuhkan juga tubuh pesawat
karena tak sengaja tersangkut di salah satu pucuknya,
yang tak henti kemudian berguncang seperti melewati jalan berbatu
yang menampung tubuh ku dan tubuh mu

Lampu-lampu padam kecuali lampu tanda perintah
memasang sabuk pengaman, para pramugari menjadi panik
wajah cantiknya jadi tak menarik

Sejumlah anak kecil menangis, orang orang tua ketir
dan berpegang pada doa, pada lengan lengan Tuhan.

Aku takut dan menghabiskan semua sisa airmata
sebab sungguh tidak tau harus berpegangan di mana

Mana lenganmu? Ulurkan kedua lenganmu!

Maka aku menyembunyikan takut ku dan kedua tangan
ke dalam jarimu yang dangkal dan basah

Aku melihatmu di sana mejaga keseimbangan tubuh
yang juga mungkin tiba tiba limbung
sedang mencari sisi lenganku yang lain untuk berpegangan

Tidak ada yang sanggup aku katakan kecuali ingatan tentang
catatan yang ku tulis sebelum berangkat :

"Tidak ada alasan untuk takut lagi, kau pasti akan tiba
dengan selamat, sebab utuh tubuhmu tertinggal di sini
di tubuhku yang menjaga tabah menunggu selapang padang"

Selepas ku ucapkan itu, tiba tiba terdengar 
satu kalimat dari pengeras suara.
beberapa saat lagi pesawat akan mendarat.

sanur 2010

Kamis, 18 Oktober 2012

Surat Cinta dalam nuansa semiotika

-untuk pernikahan Sisilia dan Eddy


Katakan padaku untuk jangan pernah lari! Meskipun aku tau kamu adalah orang yang benci berlari. Kamu selalu alergi dengan stadion dan taman kota yang menampilkan lingkaran statis yang memaksa kita menelusuri nya. Jangan pernah berlari meski di malam saat kita bercanda melalui diri yang tampil menjadi konsep-konsep abstrak papan ketik dan dua puluh lima menit film biru yang menyuguhkan lintasan lari yang luas dan panjang.

Jangan lari! Jangan membuat dirimu terangah-engah di tengah perjalanan lari mu, lalu membuat indeks tarikan napas mu menjadi begitu sederhana. 
Satu dua satu dua satu dua satu dua satu dua satu dua satu dua satu..

Dua, 
katakan padaku untuk mencegah mu berlari! Karena kadang kamu adalah orang yang bisa
mengubah sederet panjang kalimat-kalimat dalam buku menjadi ladang luas yang membuat mu ingin
segera berlari. Segera dengan kesegeraan yang luar biasa sehingga wujud mu menjadi bias, fisik mu menjadi semu dan eksistensi mu adalah udara tipis yang tidak dapat aku genggam. Sehingga tiba-tiba saja kau telah berlari hingga ke ujung dunia. "Hei lihat aku di sini!" Katamu dengan senyum bias dan warna tubuh yang makin pudar. Lalu sedikit demi sedikit menghilang dan tenggelam dalam lembar-lembar halaman, terselip diantara kalimat-kalimat pasif yang menjepit mu tanpa ampun. Memenjarakan mu dalam lintasan-lintasan tanpa ujung.

Katakan padaku untuk segera merangkul mu ketika kau mencoba berlari. Katakan dengan bahasa
isyarat yang singkat, tak perlu sms atau mengangkat telepon. Tak perlu berpura-pura menanyakan kabar. Cukup katakan saja "Aku ingin lari sekarang.." Maka sejak itu aku akan menjadi tali sepatu mu yang terlepas sehingga memaksa mu menghentikan langkah mu dan membuat mu menunduk, mengikat ku dengan ringan namun juga tak bebas, menyimpulkan ku dengan keharmonisan yang khidmat layaknya upacara. Membuat ku menjadi lebih lengkap dengan keanggunan yang sederhana, dengan kepastian yang menentramkan. Dengan wajah yang tenang serupa air dalam genangan tangan.


Lalu kau membisikan semacam mantera:
"Kini telah aku ikat kau dengan sempurna. Maka aku ingin kau memahami tiap langkah ku, tiap denyut jantung yang membuat setiap gerakan otot ku menuju satu langkah ke depan, mengiringi ku dalam lintasan yang mungkin akan membuat aku tersesat dalam ketiadaan yang tak terbatas. Memahami ku ketika aku harus berlari untuk kemudian berhenti sejenak. Mencegah ku melanjutkan perjalanan ketika kau mulai terlepas, ketika kau mulai terlepas.."

Sanur 2011

Jumat, 12 Oktober 2012

Biji Kapas dan Balai-balai

Di dalam dompet ku ada senyum mu dan kesepian yang amat asing.
Terselip dengan nyaman di antara kartu yang menyimpan nama-nama dan
sederet alamat yang tak pernah aku kunjungi. 

Seluruh rindu tumpah di sana oleh udara yang tersayat sepi.
Aku termenung mengingat mu ketika senja yang hangat dan wangi damar 
mengupas tujuh kalimat yang membawa kenangan tentang bocah ingusan
yang menyeru nama mu dari seberang sungai.

Di rekat hutan jati dan asam manggis, di tengah tandus tegalan
dan suara rindik bambu. Di tungkai ilalang dan ricik subak.
Lahirlah kesepian yang teramat asing, retak di antara jarak kasta.

Aku terjaga,
menyimpan biji kapas untuk asat rindu kita

Denpasar Selatan

Sebuah sajak yang aku tulis sendiri pas sore-sore ketika mendadak aku ingat suatu hal yang kemudian aku letakan di laci meja kerja

Gelas cangkir warna merah pemberian hadiah itu masih aku simpan di tempat semula, kalau-kalau kau pulang suatu kali ketika siang dan matahari sedang jahat padamu. 
Cuci muka dulu lalu lipat sweater mu. Masih ada semangka di kulkas atau kalau mau pisang, aku letakan di meja dapur. 

Televisi masih di ruang tengah. Juga kaktus yang pernah kita beli di pasar malam aku letakan di sebelah telepon yang lama sudah tidak berdering. Karpet abu-abu dan lukisan bali yang tergantung di dinding masih juga di tempat semula. 

KAU sudah minum?

Aku meletakan kamboja hias di halaman belakang. Sebagai variasi dari beberapa anggrek kita yang kini makin jarang saja berbunga, mungkin aku tidak rajin membersihkan dari gulma yang banyak menempel di akar-akarnya yang menjulur. 

Kau kan yang biasanya begitu? 

Kalau sudah sore biasanya tukang bakso yang bunyinya ting ting ting itu lewat di jalan komplek. Kamu yang biasanya sedang menyiram bunga yang warnanya merah kuning itu suka tersenyum. Aku tidak tau apa yang si tukang bakso pikirkan setiap kali kamu begitu, yang aku tau dia suka menambah jatah bakso di mangkok kalau kau mendadak kepengen makan sore-sore.

Kini aku yang sering memindahkan pot-pot itu. Sekedar menatanya biar rapih.
Juga mencari tikus got yang suka sembunyi di belakangnya. Aku ingat kau takut dengan binatang yang mencicit. Biasanya satu dua tetangga menyapa sekedar basa basi, kok sendirian saja? Kalau sudah begitu biasanya aku hanya senyum dan menjawab kau belum pulang. Sungguh di dalam hatiku aku selalu ragu akan jawaban itu.


Denpasar Selatan 2012

Kamis, 11 Oktober 2012

Beberapa hal mengenai satu orang yang sama

-alina

1/
Pada mulanya aku pikir hujan hanya ada di sajak yang di tulis ketika gelisah.
Kemudian ia ternyata ada di mimpi mu yang gelap, di sepasang matamu yang terpejam, di halaman teras rumah mu yang rindu pada desis tetes air yang segera menguap. Di kamar mandi yang mendengarkan keluh mu, di bantal yang menyimpan air matamu, di keran air yang senang membasahi telapakmu. Di pelukan jas hujan yang merangkul pundak mu. Di kalender yang kau lingkari setiap kali ada peristiwa yang membuat dada mu bergetar, di kaca jendela yang selalu lupa kau tutup ketika malam, di rumah mu yang penuh pohon-pohon dan rumput yang mengapung ketika hujan. Di jalan setapak yang selalu kau lewati sepulang kantor, ketika kau harus segera mencuci kaki dan memanaskan air, di gagang telepon genggam yang berpendar-pendar.

2/
Aku juga sering membayangkan hujan datang suatu pagi, mengetuk-ngetuk jendela kamarmu, lalu memaksa masuk kemudian bersembunyi di bawah teritikan bulu matamu. Kemudian kau mendadak teringat sesuatu dan ia segera meluncur ke bilah pipimu. Membuat mu merasa telah merelakan sesuatu terjatuh dan segera pecah menjadi bagian-bagian kecil.

3/
Seringkali aku membayangkan suatu kali ada seorang laki-laki lahir dari sebuah hujan yang mandul. Kemudian jatuh cinta pada kepada mu, kepada sepasang matamu yang lindap, kepada bibir mu yang merekah. Kepada jerit kelopak bunga, kepada kumbang yang bosan, kepada tangkai putik, kepada pantulan kolam, kepada ikat rambut mu, kepada tahi lalatmu.Kepada nafas mu, kepada kematian mu..
Pada mulanya aku merasa hujan mencintai mu.  

gianyar 2010

Kamis, 27 September 2012

Denpasar setelah hujan pagi ini


Saat itu cahaya masuk melalui kusen-kusen jendela
yang kemudian jatuh pada pegangan pintu, lalu menyusup ke jejeran buku pada rak kita yang tak pernah rapi,
hingga akhirnya bertahan di sela-sela bulumata mu. Menjelma menjadi udara tipis yang meniupkan mimpi mu
hingga terbawa keluar, menggoda burung yang bersitahan pada ranting-ranting. 

Hujan masih memeluk mu di ruangan ini.
Hingga tanpa terasa rintik-rintiknya mulai merembas
ke dalam pori-pori

Aku adalah perahu yang akan mengantar mu kembali ke dalam tidur. 
Lalu aku adalah anak sungai yang lahir dari rahim cinta mu.. Katamu berbisik..

kemudian gerimis menarik kusen jendela yang lupa kau tutup

- Rindu lahir berlembar-lembar


Sanur 2012


Jumat, 21 September 2012

Jalan




Perih sekali jalan ini ya, katamu di sebuah perjalanan kita yang kesekian.
Di tepi haribaan senja yang berakhir dengan luka yang merembas hingga ke dalam dada.
"Aku ingin menuntun mu membaca tanda mata, tanda hidup yang paling purba"

Sinar lampu merkuri memantul di kaca-kaca jendela
Percakapan kita tertahan di pohon-pohon akasia
kutatap wajah kita di garis batas antara perih dan langit kota

Kau pernah mengurai senja menjadi potongan-potongan kenangan
yang aku simpan di halaman buku cerita, yang sampai kini masih aku baca berulang-ulang
seperti berkunjung ke taman yang hanya ada dalam sajak cinta.

Dua belas suku kata yang terakhir terucap
lalu menguap menjadi kabut yang mengaburkan pandangan ku.
Menatap jalan yang aku tempuh 
di sepanjang perjalanan kita

Denpasar 2012

Cafe



1/
Bulan Juni belum habis, masih terasa di dalamnya
ada garis-garis hujan yang halus turun rintik-rintik dalam hatinya.
Seperti garis putus-putus dalam kartu pos yang tak pernah sampai ke alamat mu.

Disadari pula waktu telah menariknya begitu panjang terurai seperti rambutmu,
bening menangkap cahaya seperti matanya pertama kali menatap mu.
Pada bulan Juni yang panas, di sebuah cafe yang kau telah lupa namanya.

2/
Dia mengerti tentang garis-garis hujan yang melintang di sana-sini, namun
Ia tidak mengerti makna alam: panggilan tanda yang mengajak
hatinya mencintai mu.

Sederhana.

Dia hanya ingin duduk saja di cafe itu, menunggu engkau datang,
lalu menyeka pundak mu, meminta mu duduk
dan mendengarkan cerita mu
bersama lampu-lampu
yang menatap mu lembut

Denpasar 2012

Senin, 13 Agustus 2012

Di belokan ketiga di Jalan Sumatra


Di belokan ketiga di Jalan Sumatra,
kamu berhenti pada bayang-bayang pohon akasia.
Seperti semula, kota ini tidak menawarkan apa-apa kecuali
rindu yang diseret sepanjang trotoar.

Rindu yang lahir dari pecahan kenangan tentang masa kecil,
tentang lapangan tenis yang lengang, tentang sepeda angin yang kita
kayuh sekuat nafas ku memburu pita merah muda yang kau ikat di pedal.
Tentang jalan lubang yang menjadi petualangan paling dahsyat.

Tentang belokan ketiga di Jalan Sumatra,
di tepi pura tua yang teduh, bau dupa dan
bunga yang tercecer di halamannya.

Kenangan seperti kota ini, senantiasa memperbarui dirinya
senantiasa menutup luka, serta lubang
yang menjerat kita berpusar
dalam batas tanpa tepi.