Rabu, 10 Desember 2014

Ladang Hati

Tiap hari pelan pelan perempuan itu menyemai bebiji macam macam pohon.
"Ladang ini terlalu luas untuk sekedar lapang.." Ujar perempuan itu suatu kali
Maka Dia, seorang laki laki sederhana, merelakan sehampar tubuhnya -juga hatinya
di tanami berbagai pohon. 
"Musim hujan kelak, saat waktunya pohon menyemai bunga menjadi buah.
Ladang ini akan ramai oleh burung. Aku menyebutnya sebagai kebun burung"

Dia tahu semenjak semula,
perempuan itu memang pandai menanam pohon. Maka ia biarkan jari jarinya
menelusuri setiap jengkal hatinya. Ia genggam tangannya menabur
serpihan batu kerikil di ladang hatinya sendiri.
"Supaya bisa jadi petunjuk bagi mu, bahwa aku pernah menemani mu di sini"
Katanya sesudah mengurai air mata yang basah di dadaku.

Dia juga tau bahwa sejak semula, perempuan itu tidak akan pernah menuai buah
yang kini menjadi ladang burung. Dia, laki laki sederhana itu mengerti jika kini
tubuhnya -juga hatinya dipenuhi suara kepak sayap yang terdengar hingga ke ujung air mata.

sanur-seminyak 2010

Selasa, 18 November 2014

Membaca kata berakhiran -au

Aku pernah mencoba mencoba membaca kau di dalam buku cerita pendek yang pernah kau beri padaku pada suatu pagi yang redup. “Sebab beginilah akhirnya kita berdua patah di tikungan jalan” Kalimat kata pengantar yang aku baca dengan lirih.

Aku tak menduga kau juga tidak aku temukan pada piyama mu yang lembut, piyama itu tertinggal di ujung tempat tidur, tertinggal begitu saja tanpa ada yang bertanya untuk apa ia disana, mungkin ia rindu memeluk tubuhmu ketika malam, atau aku yang takut menampik ingatan?

Aku juga pernah bertanya kepada seorang petugas telepon, ia mengatakan mungkin kau ada di pesan-pesan singkat yang sering tak aku balas, ah kata-kata yang manis, ah kata-kata yang terbuat dari kabut, begitu samar seperti masa depan. Begitu lirih seperti kata pengantar yang aku bacakan pada mu.

Di jalanan yang padat tidak ada kau, juga di dinding-dinding papan iklan, hingga telaga yang tenang berkata: 
Maka demi langit yang kelabu
Adakah kau di setiap sudut ruangan? 
berlompatan seperti neutron 
mengisi setiap atom
hadir tanpa adap pertanyaan
hilang tanpa ada jawaban?


Mungkin aku hanya rindu menyebut namamu tanpa menjadi rindu

-Kuningan 2014

Rabu, 13 Agustus 2014

Kelemayar

Kau tau? Tiap kali cuaca panas memanggang kota
aku selalu ingin berteduh di bawah bulu matamu.
Duduk bersandar pada obrolan yang mengalir
meliuk seperti sungai-sungai yang tak akan kering
dibawah matahari yang membara.

"Ah, rambut mu rupanya persis seperti ingatanku tentang laut.
Laut yang pernah aku jumpai di sebuah pulau jauh dari kota ini."

Ucapku, sambil memperhatikan jarimu yang memasukan angka di tabel excel yang bertumpuk-tumpuk seperti jendela pada gedung-gedung tinggi.

Aku tidak pernah mengerti caranya memasukan angka-angka pada tabel excel. Aku tidak pernah paham mengapa kau berbinar menyilaukan.

--

Sejak itu aku ingin mencatat dirimu dengan cara yang tak biasa.
Ku tulis dirimu di tembok rumah, jendela kantor, hingga daun-daun yang 
berantakan seperti kata-kata. 












Selasa, 03 Juni 2014

Lautan

Hati yang kecewa itu seperti lautan yang memeluk mu pada malam-malam yang jenuh. Ketika kau terus melangkah diantara panggilannya yang melembutkan pasir bagi telapak mu. Ia mencintai mu tanpa memerlukan jawaban, hanya jejak-jejak yang kau tinggalkan di bibirnya. 

Dan hanya dalam pejam, kau bisa menyaksikan hamburan jutaan plankton dan ubur-ubur berwarna jingga berlerai dari tepi cakrawala. Mereka berkerumun di ujung-ujung senja dan dengan jari tangan mu kau letakan ciuman paling hangat kedalam ombak yang berkilauan.

Engkau lalu berperasangka: 
kelak jika lautan dan dirinya yang berwarna jingga itu sampai di tepi pantai. Ia akan mencari sepasang matamu untuk di cium atau hinggap di pipimu sebagai sesuatu yang akan engkau kenang.

Tiba-tiba aku jatuh cinta,
jatuh di ujung daun jendela yang kau buka.

Kau buka untuk menunggunya.


Juni 2014

Selasa, 18 Maret 2014

Lelaki yang kehilangan lengan dengan seorang wanita yang bisu

Berapa kali hujan harus turun setiap kali kau jatuh kepada sepasang mata seorang lelaki?
Kau bilang di suatu malam yang gerah:
“ Aku tidak perlu di temani, perempuan bisu yang tuli seperti ini tak perlu di kasihani”

Aku memar memandang bibir mu yang bergetar ketika mengucap itu dengan bahasa isyarat.
Dengan jari tangan yang putih. Membuat aku ingin menggenggam dan menyimpannya dalam saku. Agar bisa tentram dari dunia yang tak berpihak pada mu.

Namun aku laki-laki yang tak punya lengan.
Aku tak bisa mengusap punggung telapak mu, tak bisa menggenggam mu,
tak bisa mengatakan sesuatu dengan isyarat sekalipun.

Aku hanya bisa menyentuhkan pipi ku ke telapak mu.

Dan berdoa meski kau tak mendengarnya:
“Sesungguhnya apa yang ingin aku katakan sudah kau dengar. Mata adalah telinga bagimu dan mulut bagi diriku. Aku ingin menjadi beranda yang melindungi mu dari hujan. Menyediakan ruang yang ada untuk membuat mu akhirnya merasa aman darinya. Dengan begitu Suara ku tak akan hilang meski kita berada di tengah badai yang meruntuhkan segala di sekitar kita”

Terdengar hujan turun rintik-rintik dalam dada kita masing-masing



Tanjung Karang – Sanur 

Senin, 24 Februari 2014

Everything You're Not Supposed To Be

Sudah lama aku jatuh cinta, namun

Kenangan mu mengetuk rumah ku pada suatu sore yang berkabut.
Mengantarkan gelisah milik mu yang berisi setumpuk buku cerita tentang rumah, tawa dan banyak sekali air mata.

Satu dua tiga hingga ribuan jarak sudah aku tempuh. Namun kenangan mu selalu menemukan ku, menawarkan gelisah itu ke hadapan ku. Mungkin barangkali ia bersengkongkol dengan sunyi.

Mungkin ia masuk ke mimpi-mimpiku: Sebuah bayangan yang terus-menerus menggerus kesadaran.

Kelak aku akan membawa batu-batu dari dalam lubuk. Akan kuletakan ke setiap alamat-alamat yang pernah kau datangi, ke pulau-pulau asing, ke sudut-sudut kota, ke bangku-bangku cafe, mencicipi tawa mu, menegak air mata mu. Hanya sebagai tanda bahwa aku telah memasuki relung mu.

Hingga seluruh tubuh ku adalah bayang-bayang mu, dan ia, Kenangan itu menyerah atau menabrakan dirinya di jalan layang. Atau juga bergegas berdamai dengan dirimu yang telah menjadi diriku.

Pada suatu sore yang berkabut