Kamis, 22 November 2012

Propaganda upacara bangun pagi dan definisi lari


Saya tidak mencoba untuk berlari, karena saya benci berlari, saya ingin berjalan saja, tapi semua orang berlari. Kucing berlari, gajah berlari, kecoa berlari, tikus-tikus berlari, hingga papan-papan iklan juga terus mengajak saya berlari. Mencoba memahami definisi diri yang makin abstrak dalam kepungan warna merah, kuning, biru, hijau, merah lagi, biru lagi, hijau lagi, hingga semua seragam seperti barisan nisan dalam kuburan yang siap menanti  manusia-manusia yang telah menjelma menjadi Nike, Motorola, Nokia, iPod dan keseragaman telepon genggam layar sentuh.
Saya tidak berlari, saya ingin minum kopi. Saya ingin setiap kali dapat menghitung mundur senja seperti merayakan tahun baru. Berpesta merayakan kelambatan, kehidmatan,  tanpa harus di hantui propaganda usang “time is money” Propaganda yang merayu saya menukarkan waktu dengan uang. Membuat saya lupa bahwa kesenangan tidak bisa di beli dengan apapun. Sehingga saya mencoba untuk menghitung mundur jarak antara saya dengan kematian sambil berbincang soal skor bola dan episode sinetron religi.
Saya ingin mencoba sekali saja tidak berlari tidak juga diam. Saya ingin terbang dan tidak harus ke angkasa. Saya ingin terbang ke sudut-sudut lubuk mata buruh tani, saya ingin terbang ke sela-sela bibir pelacur pinggiran, saya ingin terbang ke bahu kuli-kuli bangunan, saya ingin terbang dan menampar pipi saya. Saya ingin sadar bahwa saya sedang terbang. Melayang ke belantara sajak dan jejeran kalimat puitik imajiner dari Chairil hingga Sapardi, dari Chekov hingga Munir. Dari Kennedy hingga Megawati. Dari jantung ku hingga jantung mu.
Saya ingin mengucapkan selamat tinggal kepada sepatu, namun ternyata saya hanya menjelma menjadi jejeran balok-balok di stadion tempat ribuan orang bersepakat untuk terus berlari setiap kali bangun pagi.

Oh indahnya dunia yang sudah pasti!

Slipi, Jakarta 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar