Minggu, 02 Desember 2012

Gadis Penjual Teh di Selatan Pyongyang

Dalam kedai ini hanya ada kita berdua,
duduk di sebuah kursi di tepi jendela.
Kau senang berbincang tentang cuaca,
juga perihal mengapa jalan dan danau lembab di bulan September.
Sebab kau mengira aku seorang yang lahir dari planet yang berbeda,
kata mu sambil meniupkan uap teh dalam cangkir yang wanginya menyelinap hingga
ke rongga dada ku yang hampa. Memandangi bulir air hujan yang turun di kaca jendela.

Kita seperti bunga Magnolia yang tumbuh sebelum musim panas. Kita semua adalah
anak-anak cahaya matahari yang lahir dari rahim hujan ketika ia membuahi bumi.
Katamu tanpa menghiraukan detak jarum jam yang nampak menghitung titik-titik sepi
di dinding-dinding kedai teh ini.

Mengapa wajah mu nampak sangat berbeda, wajah laki-laki yang halus. Negeri apa yang kau tinggali?
Dengan sulit kau melafal Jawa,
lalu aku bercerita tentang suku yang berasal
dari sebuah pulau yang tak pernah berhenti jadi tempat penguasa mengorbankan rakyatnya.
Di sebuah negeri kerajaan yang telah porak poranda. Hingga sebelum sempat aku selesai bercerita..

Pemimpin negeri kami tak seperti itu.. Kau membalas dengan mata yang nanar.
Suara burung Chamsae mengaung mematah-matahkan kegundahan.

Kau diam tersenyum memandangi ku yang meminum teh ini sedikit demi sedikit.
Seperti memandangi ku menghapus kesepian mu perlahan-lahan.
Seperti menahan lajur waktu.

yeogiseo gidalyeo..

2102







Tidak ada komentar:

Posting Komentar