Kamis, 06 Desember 2012

Jembatan extravaganza di musim hujan yang kadang jadi tempat berteduh sebagian dari kita


Perempuan yang bercumbu dengan musim itu
menjatuhkan juga dirinya di bawah pohon waru yang tumbuh di sela-sela jembatan layang. 

Angin yang lewat hanya diam lalu menterjemahkan gerak daun yang gelisah di ranting yang kesepian.
Suara derap langkah kaki mereka seperti hendak menuju ruang kelam,
ada yang merasa kehilangan dan mencari pegangan.

Apalah arti perempuan yang bercumbu dengan musim itu
ketika telah menyala api tidak di mata
tapi di dada -seperti baru membikin sebuah karangan sajak.

Lalu terbakar,

Lihat, lihat! Kita menukar, bersembunyi lalu menikam nasib diri sendiri
yang bersembunyi di belakang lebatnya polusi
kemudian menenggelamkan kepala 
kepada ruang kosong
dan segelas kopi starbucks 
setiap pagi ketika menyalakan komputer 
lalu bersemayam di atas tumpukan angka, inflasi,
kebijakan finansial dan utang luar negeri.

Tak ada alasan untuk bergembira selama masih ada
perempuan yang bercumbu dengan musim.
Mengingatkan ku kepada pisau dan tali
kepada yang sia-sia membuka mata waktu pagi,
menggantungkan dirinya pada pucuk paku di dinding tua.

Maka sebelum janji tuhan turun kepada kita,
binasakanlah napas dan bahasa yang meleleh dari dada
menerbitkan salju pada musim kemarau
seperti jatuh dari mimpi 

Slipi 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar