Jumat, 02 November 2012

Tanjung Karang dalam versi lain

1. 
Maghrib jatuh ketika gerimis turun setelah sepanjang siang 
matahari masam menggugurkan kapas yang melayang di aspal
membuntuti ku di antara akasia sepanjang raden intan.

2. 
Aku ingat simpang beringin dan gugur daun
yang melayang menabrak sisi kaca mobil angkutan.
Besiasat meluncur di jalan besar 
bersamaan dengan mata kita yang tak sengaja bersitatap dengan jarak
yang tak lebih dekat dari selebar lengan.

3. 
Ingatkah kau tentang peristiwa daun mangga 
yang jatuh di sisi jendela kita suatu pagi? 
Yang mengingatkan mu tentang beberapa cerita yang telah lampau. 
Tentang keinginan mu untuk segera meninggalkan kota ini. 
Juga kepasrahan mu di setiap doa yang kau baca lalu kau simpan.

4. 
Menulusuri sepanjang rel yang berkarat
seperti menyimpan kenangan jauh di masa lampau,
tentang jalan batu yang berdebu, juga pegangan tangan ibu 
yang membawaku ke tengah pasar.
Serta perihal kereta angin yang aku kayuh secepat rindu bisa melabuh.

5.
Sepi pernah mengisi separuh dada ku, separuh lagi
menjadi ricik dan ranak sungai yang menyuburkan ladang kita 
menjadi hutan hutan hijau yang berdaun lebat.
Tempat aku tersesat di dalamnya.
Memanggil manggil nama mu yang aku lupa wajahnya.
Membacakan puisi di teater terbuka atau sekedar menyaksikan punggungmu yang bercahaya.

6.
Suatu pagi hujan turun dalam simfoni lagu melayu
yang kita nyanyikan bersama sama.
Di selapang pantai putih dan amis masam nelayan di pesisir kota.
Ingat kah kau? Telah sepanjang malam kita menjaring harapan.
Bersama keinginan yang menggigil. Dan sedikit pilu yang mengering.

7. 
Aku pernah bermain main di tepi laut,
berbaring di atas pasir lembut seperti pelepah yang terdampar.
Angin pernah mencium mutiara di ujung rambutku.
"Engkaulah penyair sejati yang membaca sajak dari lembar ombak"
bisiknya, lalu melempar tubuhnya menggiring air laut yang menggulung.

8.
Di jembatan kereta yang tinggi itu,
aku pernah merasa takut untuk tergelincir.
Meski aku lekat menggengam lengan mu,
tapi aku selalu takut ketinggian.
Tunggulah, katanya, kita akan cepat sampai di seberang.

9.
Aku sering berdiri di belakang gedung yang menantang senja.
Melingkari matahari dengan jari telunjuk, lalu menghitung cinta 
sebagai kekayaan. Begitulah caranya agar nampak bahagia.
Sementara kesedihan adalah harga yang di bayar untuk
mengerti arti dari bersyukur.

10.
Maka setiap kali aku melewati jalan jalan lengang ketika pulang, 
ketika rindu seperti senar yang menegang:
Dalam jejer lampu merkuri kusaksikan
Lekat tubuhku di peluk kota ini.
Hangat.

Seminyak - Sanur - Jakarta 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar