Selasa, 09 April 2013

Indomie kuah bersama rintik hujan

- Ruth

Kamu selalu merindukan hujan, mungkin besok atau nanti malam ia akan tiba di sini. Konon hujan adalah air mata langit yang merindukan laut. Kamu tahu? Saya tidak tidak tahu hal itu dan tidak mengerti mengapa kau bertanya.

Jika kamu adalah danau maka aku ingin menjadi teluk yang menampung segala ombak lalu aku limpahkan padamu segala hal yang aku miliki, hingga kau terpenuhi seutuhnya menjadi sebuah danau cantik yang penuh sampan dan perahu bebek yang berenang dari tepi ke tepi. Namun aku sebetulnya ingin menjadi awan saja atau kecipak air di hulu sungai.

Dulu, ketika saya masih sering menghitung berapa banyak ikan mujair di sungai, saya membayangkan kamu akan datang dengan sampan dan membasuh wajah mu di kecipak air itu.

Dulu, sekarang saya tidak pernah membayangkannya lagi.

Aku ingat cedera itu, cedera di pundak mu yang tidak pernah kau ceritakan. Cedera yang menurut ibu mu adalah tanda lahir yang diberikan Tuhan ketika mengirim ruh mu ke dalam janin. Ia sempatkan melukai mu sedikit agar nanti kamu bisa belajar untuk terluka. Menjadi perempuan yang akan mengayuh sampan dari hulu ke hilir.

Masih hujan kah di luar? Masih, namun hanya gerimis dan sedikit silau.
Kamu tau? Hujan membuat saya bahagia, juga membuat saya jadi sendu. Di luar sana, di balik kaca jendela ruang tengah yang berkilau tertimpa cahaya matahari sore. Mungkin ada sebuah janji yang gagal di penuhi. Mungkin juga ada cerita yang seharusnya tidak terjadi.

Saya melihat kamu kembali dari dapur dengan dua mie kuah di dalam mangkok. Hujan masih belum reda, sejenak saya bertanya-tanya. Rindu siapa gerangan?