Jumat, 28 Desember 2012

Sajak yang lahir di musim kemarau

Waktu sore kita bersama-sama berjalan melewati ladang yang gersang
sementara kemarau turun ke bulu-bulu mata dari puncak-puncak cemara

Cahaya matahari berseteru pada alang-alang pada suara-suara ranting yang patah
pada jerit-jerit bunga.. pada kalimat-kalimat yang terbawa angin.

Maka waktu kita berjalan,
ada yang diam-diam
menunggu kita di sana

Jumat, 21 Desember 2012

Empat alasan saya benci bulan Desember


1/
Saya benci bulan Desember yang selalu datang dengan basah dan tidak pernah surut.
Desember yang rindunya meluap hingga semata kaki,
Ketika saya terpaksa harus berlari sepanjang trotoar menerjang hujan yang rintih-rintih
hanya agar segera sampai di rumah untuk mencari hangat mu di seberang telepon.

2/
Saya benci bulan Desember yang serupa pohon cemara yang kuyu,
yang retak dahannya menahan embun agar tak lekas lepas dari tepinya
Embun yang tak perlu berwarna untuk membuat daun jatuh cinta.

3/
Saya benci bulan Desember yang mengingatkan tentang cangkir mu yang
kau tinggal di rumah ini. Cangkir keramik bergambar bunga warna-warni,
cangkir yang kita beli setahun lalu, cangkir yang menahan setiap retak kisah
yang lahir di sini.

4/
Saya benci bulan Desember ketika para tetangga merayakan tahun baru,
ketika kembang api dan petasan berpendar lalu meletus di angkasa
ketika saya sadar ternyata letupan itu juga terasa hingga
jauh di dalam dada..

21 Desember 2012
Jakarta

Rabu, 12 Desember 2012

Suatu pagi aku melihat mu memasuki pagar rumah


Angin pengarak pagi terdampar di depan kamar ku
pada hari minggu ketiga setelah akhir November.
Siut bubungnya mengajak aku turun ranjang 
dan melompat ke halaman. Menyerahkan diri menjadi
kata-kata dalam sajak yang di ucapkan kelak
ketika suatu saat nanti kamu ingat pada ku.

Waktu nanti, tumpahlah rindu berderai-derai 
dari langkah mu yang tergesa-gesa 
memasuki halaman rumah. Melompati pengandal
yang aku letakan sebagai penahan pagar
agar tak rebah.

Aku melihat mu membawa jenang putih dalam mangkok
yang terbuat dari daun pisang lalu ditaburi dengan gula merah
yang diiris tipis diatasnya.

Mata mu lekat seperti madu, rambut mu merah
seperti jagung. Senyum mu terasa cecap manis di
ujung bibir..

Pohon mangga menyambut kita dengan gelisah.
Cahaya matahari susut berhambur di sela-sela daunnya.
Sebagian jatuh ke pundak mu hingga nampak bercahaya

bumbung angin hening berhembus.
kita berdua diam dalam
sepi yang menghunus 

2012

Senin, 10 Desember 2012

Pohon mangga kita yang meranggas


1/
Pohon mangga kita tidak pernah berbuah lagi.
Semenjak ibu meranggas menjadi
daun-daun kuning yang gugur -Seorang perempuan
yang menyematkan dadanya
menjadi alamat rumah bertahun-tahun.
Menunggu sebuah jantung kembali
ke dalamnya untuk kemudian berdetak
seirama nafas.

Kata ia pada surat yang tak pernah dikirimnya:
Kemana jantung mu berpulang?
Aku semata angin yang membumbung melewati
celah dinding rumah kita yang retak.
Membawa lembab dan dingin ke dalam
tulang-tulang ku.
Mengenang mu sebagai akar tubuhku yang tumbang
terangkat dari kerak pikiran ku.

Ia lipat surat itu perlahan-lahan lalu
Ia remas untuk kemudian diselipkan
ke dalam mimpinya.

2/
Pohon mangga keluarga itu tetap saja tumbuh
dengan daun yang makin sering terlepas dari tangkainya.
Satu per satu setiap sore, setiap kali
hari menutup tanpa ada suara langkah
kaki memasuki halaman.

Aku mengumpulkan daun-daun itu
kemudian membakarnya. Aku menatap
ibu bergetar di teras pintu setiap
kali aku melakukannya.

2011

Kamis, 06 Desember 2012

Jembatan extravaganza di musim hujan yang kadang jadi tempat berteduh sebagian dari kita


Perempuan yang bercumbu dengan musim itu
menjatuhkan juga dirinya di bawah pohon waru yang tumbuh di sela-sela jembatan layang. 

Angin yang lewat hanya diam lalu menterjemahkan gerak daun yang gelisah di ranting yang kesepian.
Suara derap langkah kaki mereka seperti hendak menuju ruang kelam,
ada yang merasa kehilangan dan mencari pegangan.

Apalah arti perempuan yang bercumbu dengan musim itu
ketika telah menyala api tidak di mata
tapi di dada -seperti baru membikin sebuah karangan sajak.

Lalu terbakar,

Lihat, lihat! Kita menukar, bersembunyi lalu menikam nasib diri sendiri
yang bersembunyi di belakang lebatnya polusi
kemudian menenggelamkan kepala 
kepada ruang kosong
dan segelas kopi starbucks 
setiap pagi ketika menyalakan komputer 
lalu bersemayam di atas tumpukan angka, inflasi,
kebijakan finansial dan utang luar negeri.

Tak ada alasan untuk bergembira selama masih ada
perempuan yang bercumbu dengan musim.
Mengingatkan ku kepada pisau dan tali
kepada yang sia-sia membuka mata waktu pagi,
menggantungkan dirinya pada pucuk paku di dinding tua.

Maka sebelum janji tuhan turun kepada kita,
binasakanlah napas dan bahasa yang meleleh dari dada
menerbitkan salju pada musim kemarau
seperti jatuh dari mimpi 

Slipi 2012

Minggu, 02 Desember 2012

Gadis Penjual Teh di Selatan Pyongyang

Dalam kedai ini hanya ada kita berdua,
duduk di sebuah kursi di tepi jendela.
Kau senang berbincang tentang cuaca,
juga perihal mengapa jalan dan danau lembab di bulan September.
Sebab kau mengira aku seorang yang lahir dari planet yang berbeda,
kata mu sambil meniupkan uap teh dalam cangkir yang wanginya menyelinap hingga
ke rongga dada ku yang hampa. Memandangi bulir air hujan yang turun di kaca jendela.

Kita seperti bunga Magnolia yang tumbuh sebelum musim panas. Kita semua adalah
anak-anak cahaya matahari yang lahir dari rahim hujan ketika ia membuahi bumi.
Katamu tanpa menghiraukan detak jarum jam yang nampak menghitung titik-titik sepi
di dinding-dinding kedai teh ini.

Mengapa wajah mu nampak sangat berbeda, wajah laki-laki yang halus. Negeri apa yang kau tinggali?
Dengan sulit kau melafal Jawa,
lalu aku bercerita tentang suku yang berasal
dari sebuah pulau yang tak pernah berhenti jadi tempat penguasa mengorbankan rakyatnya.
Di sebuah negeri kerajaan yang telah porak poranda. Hingga sebelum sempat aku selesai bercerita..

Pemimpin negeri kami tak seperti itu.. Kau membalas dengan mata yang nanar.
Suara burung Chamsae mengaung mematah-matahkan kegundahan.

Kau diam tersenyum memandangi ku yang meminum teh ini sedikit demi sedikit.
Seperti memandangi ku menghapus kesepian mu perlahan-lahan.
Seperti menahan lajur waktu.

yeogiseo gidalyeo..

2102