Jumat, 02 November 2012

Senyum, Kabut, dan Perjalanan


Bertahun tahun aku menyusuri senyum mu. Pergi ke segala penjuru arah
Mengikuti setiap petunjuk jalan dan tikungan. Menembus ladang, memotong simpang, hingga liku-liku yang ngilu.

Aku mencatat banyak nama tapi bukan milik mu, menggambar banyak wajah tapi bukan dirimu.
Memilih cuaca tapi bukan untukmu. Mengarungi ombak tapi bukan rambutmu, menghempas diriku
di anak sungai lalu membiarkan tubuhku di rambati  yang bukan air matamu.
Aku mendatangi tebing, menghitung susunan perahu di dermaga, mengunjungi setiap etalase kaca di Jakarta. Merangkai trotoar di jalan jalan jogja. Menabur bunga di setiap pura, hingga meledak di di tepi senja.

Aku mencari senyum mu di ranting ranting pohon kering, galeri galeri seni, buku-buku puisi, hingga panggung panggung pentas yang megah. Aku kembali ke rambatan tiang, ke sudut sudut remang, ke tempat sepi mencari sunyi. Suara riuh pasar, ruap kereta yang terlambat, serta doa doa yang di jual di gerbang makam. Bahkan di pelosok kanvas yang paling suram.

"Senyum mu menjadi rembang di kabut malam"

Aku kasmaran mendengar namamu di sebut di katalog lukisan. Diam diam aku pulang, melewati arah selatan.

Mencari jalan pulang. Siapa tau senyum mu sudah menunggu dengan sabar di rumah, sudah merawat
kembang di halaman, sudah mengunci pintu, meletakan taplak meja dan mengganti keran yang tak pernah berhenti menetes. Terus menerus berulang seperti lagu yang diputar di lobi hotel. Tapi rindu bukan sesuatu yang dapat di nikmati, rindu adalah luka yang menganga siap menghisap tubuh ku ke dalam arus darah mu. Menembus jantung mu, membabat habis oksigen yang kau peluk erat erat. Lalu mengganti nafas mu dengan udara yang kusimpan berabad abad.

"Tuhan, sebutkan keinginan Mu"

Aku berlari hingga ke selokan yang paling hitam. Kususuri tikungan dan gang, ku rampas minuman yang paling keras hingga aku kehilangan siang. Aku mengutuki gerimis yang membawa pulang rindu, serta bulir bulir tetes air hujan di rambut mu yang kuyup suatu pagi, ketika jalan masih lengang dan kau berdiri di sejenak mengeringkan rambut mu di luar.

"padamkanlah nyala di dada mu"

Bisikmu yang terdengar seperti puisi yang tak bisa kumenerti, tak bisa kupahami. Membawaku ke gurun yang lengang, mencecap keterdamparan, meneguk keterasingan. Ingin berlayar, ingin terus mengunjungi setiap tiang dan liang. Mendayung perahu, menggali kubur di tanah sajak. Menunggu senyum mu datang di hari ketiga dan memeluk tubuhku seperti Maryam kepada anaknya. Senyum mu akan bersanding seperti Allah yang memberkati  wajah Isa. Nampaknya senyum mu akan menangis, seperti Denpasar yang diguyur gerimis.

Sanur Seminyak Denpasar Jakarta 2010 - 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar