Rabu, 07 Desember 2016

Semua cemasku adalah sebuah pertanyaan mengapa hari ini hujan turun begitu gelisah

Langit-langit bergeser, senja gemetar, gemetar seperti ciuman mu pada sebuah sore abadi di hari yang patah setelah hujan mengguyur kota, membasahi jalan-jalan, selokan-selokan hingga rumah-rumah tanpa jendela yang mengambang sepanjang aliran sungai yang meluap hingga semata kaki perempuan yang blazernya basah diantara orang-orang melintas dengan kesal karena harus pelan-pelan menghindari lubang di jalan dan air yang menetes dari talang-talang air dan dari setiap payung yang saling bertabrakan di trotoar yang ramai, dari daun-daun, dari mata mu. Mata mu yang nanar, berkejap, gemetar seperti senja yang terbakar yang bergeser-geser seperti awan seperti ombak seperti rambut mu bergulung-gulung memoles lengkung cakrawala dengan dengan cahaya kemerah merahan, kebiru-biruan, keungu-unguan yang memantul ke sana ke mari dari jendela kantor-kantor yang melesat-lesat membelok menyiut memeluk gerak gelisah ku yang menunggu dengan cemas bahwa hari ini akan segera usai dan esok harus kembali di mulai dengan mengucapkan selamat pagi kepada waktu yang melingkar seperti mereka yang rutin olahraga, seperti jalan yang melingkar mengelilingi taman kosong. Seperti titik rindu yang selalu berakhir dengan gelisah, cemas yang turun dengan air bah menghanyutkan segala isi kota dan seluruh kenangan-kenangan tentang mu yang berserakan itu.


Dec, 16

Jumat, 04 November 2016

Jakarta 18:00

Gerimis datang ke teras rumah tanpa kabar. Membawa sore menguning berguguran di garasi kita. Di langit adzan memecah mega-mega, huru hara lagi kata mu. Televisi menyala tanpa suara, membiarkan sunyi merayap di dinding dan memantul ke segala penjuru arah. Seorang demonstran berorasi di atas mimbar, matanya membakar orang-orang yang marah. Sudah jam enam, gelas kopi sudah dingin, senja mulai membereskan dirinya untuk bersiap berganti dengan malam. Kau masih membaca buku itu di suatu sudut ruangan, menatap ku sebentar lalu kembali membalik lembar-lembar puisi. Sajak tak bisa membubarkan demonstran, katamu suatu kali saat kita melintas di jalan Sudirman, sebab sajak hanya mampu berbicara kepada mereka yang meraung dalam ruang hati yang terbuka. 

Selasa, 30 Agustus 2016

Sore di Cook Street

Langit menguning menyapu seluruh jalanan dengan warna emas. Menyulap kota menjadi temaram, mengepung perasaan yang memar dengan cahaya semburat senja melesat lembut dari balik ranting dan atap rumah toko yang berderet di sepanjang Cook Street. Senja keemasan menimpa pohon-pohon, memantul di kaca-kaca gedung, lalu berkibas diantara laju mobil yang melintas. Cahaya yang sendu membias dan jatuh membelai wajah mu di sebuah taman di tengah kota. Ada sepasang anak muda terengah-engah di sudut taman. Ada anak kecil berlari mengejar ibunya. Ada matamu yang memandang telepon genggam, gelisah di telapak tangan.

Dalam temaram lampu jalan kau lihat bintang mulai bercahaya. Bulan mulai terbit. Telepon itu tidak juga berbunyi, tidak akan pernah katamu. 

Kau membaca sebuah sajak singkat yang pernah kau tulis
di suatu pulau yang jauh:

Senja adalah perpisahan
tempat diam dan gerak menyatu
bergejolak seperti lidah yang bergumul
pada malam pertama dalam remang
kesedihan yang 
membara

Seorang perempuan entah dimana memeluk laki-laki di sebelahnya..




Singapore 2016

Senin, 22 Agustus 2016

Menulis Sajak

Senja jatuh di balik jendela kaca taksi yang membawa mu
menjauh
meninggalkan kota ini. Aku.

Juga bau hujan siang tadi,
menguap
ke udara yang kini terasa asing.
Memenuhi pikiran ku dengan
kenangan kenangan
yang tak sempat menjadi impian.

Senja yang rawan, senja yang kesepian.
Lampu-lampu jalanan menyala, tetangga
mulai kembali pulang, berita telah
habis di tivi dan koran pagi telah
jadi alas untuk tidur.

kini malam telah turun

Di jakarta.
Di sudut bar yang paling
gelap, di dasar gelas yang paling
dalam, aku terasing menulis sajak
untukmu.

Singapore 2016

Sabtu, 25 Juni 2016

Kenari Menari Tarian Bakung

Seseorang masih menyimpan bunga bakung itu di tengah buku catatannya
di halaman tempat ia mencatat hujan yang turun tidak sengaja setelah
melihatnya meninggalkan teritikan anak tangga.

Bergegas mencari batas antara bayang-bayang,
dedaunan, dan suara baling-baling yang
melintas di benaknya tiba-tiba:

Siut burung Kenari!

Ia menoleh padaku.
Kau pandangi langit itu,
wajahnya masih berduka, masih penuh debur ombak.
Masih yang sama ketika dulu
pernah kau rasakan sebaris manis luka yang teriris tipis
menghempas sisa-sisa yang masih ada ke sehampar karang.

Burung Kenari yang telah lama tak bernyanyi..

Bali - Singapore
2016

Sabtu, 07 Mei 2016

Radiasi

Radiasi sinar yang kadang suka bertentangan dengan hukum alam itu memancar dengan sebal. Memancar dari mu seperti gelombang atau partikel yang jumlahnya tidak menentu, mirip jerawat lucu di pipi mu. Juga punggung itu.

Jika saja aku bisa membawa mu naik kuda meluncur dari matahari terbit, padang gurun kering, berdebu. Melekat dalam pikiran ku rambut mu yang terbawa angin perlahan lahan, diam diam saja, tanpa drama. Sementara itu kita berbincang tentang elang dan jejak bintang tanpa nama. Gerhana matahari dan batara yuda pemangsa cahaya.

Sebab tak ada yang lebih menyenangkan dari bercanda tanpa filosofi. Titik temu dan pendapat pendapat yang kadang di petik dari potongan buku yang kita baca. Silang pendapat kita padamkan, toh dirimu sendiri adalah objek semesta yang menimbulkan gravitasi.

Berputar pada porosnya. Seketika semesta ikut bahagia bersama mu.

Amin YRA

Kamis, 05 Mei 2016

"

Mengapit kalimat di sebuah
sajak sederhana untukmu,
berdua saja berdekatan
saling memeluk
tanpa berkata.

Seminyak - Singapore 2010 - 2016


Jumat, 04 Maret 2016

Ruang Hati

"dengan meja makan yang bundar"

Kau selalu terobsesi menjadi seorang pemain biola.
Senang menggesek senarnya, perilaku yang menyimpulkan kau ingin mengerat leher ku sejak lama. Kau ajukan juga partitur itu, Op 3 gubahan Vivaladi tepat ketika aku selesai makan malam. Katamu, "Biarkan aku sekali saja memainkannya, setelah itu kau kubolehkan perkosa aku, tenang saja kali ini aku tak meronta"

Kau memulainya dengan membersihkan selungsainya terlebih dahulu, kemudian mengucapkan sedikit doa. Purnama di luar merenggang ketika nada pertama kau mainkan. Aku merekah, luruh luluh lantak. Di bawah ruang lampu bohlam susu, aku menjadi kayu yang terbakar api, soneta itu terus kau mainkan, kau erat, kau kerat, patah..

(kini kau selalu terbobsesi menjadi seorang pemain biola.Senang menggesek dada ku. Mengencangkan urat nadi ku. Lalu meletakannya di antara rahang dan pundak mu.  Sebuah perilaku menyimpang yang menyadarkan ku bahwa kau mencintai ku..)

Lembab

Hujan mengibas-ngibaskan basahnya di rambut mu
suatu sore, ketika kau berjalan ke arah utara.
Menoleh pada ku sesaat 
seperti mengingat sesuatu yang lampau,
jalan setapak
di antara cemara
di telapak tangan mu
menyimpan takut ku
bahwa apa yang aku pahami
tak akan pernah mampu 
membawa mu 
berhenti 
(daun-daun yang ringan
jatuh perlahan)

2011  -  2016


Minggu, 28 Februari 2016

Sajak Pada Sebuah Bar

langit muram, kau menari di bawah malam.
Melepaskan perasaan dengan
tarian yang mengundang
ular melilit
tubuh mu,
menjulurkan
lidah membius

mimpi ku tentang
perempuan dalam
remang kabut yang
muncul dari senyap

berkepanjangan.
Kamu. Mungkin.
adalah mimpi itu.
Siapa tahu

Selasa, 23 Februari 2016

Kereta dalam perjalanan ke Yogyakarta

apakah kau adalah gelombang?
Kota-kota tertinggal di belakang,
jalanan basah, kau kuyup
dan aku tersirap di sebelah mu.
Menggenggam jarimu sepanjang
perjalanan. Percakapan terpendam
dalam deru laju suara kereta.

Setelah stasiun menyambut kita.
Kau melambai seakan inilah
pertemuan terakhir.

Seolah musim bertanya
Kapan kau kembali?

2016