Kamis, 19 Juli 2012

Embarkasih

Pada akhirnya terjadi juga perjalanan ini. Dengan dada sepenuh luka.
Kepada sepasang mata. Kepada hati yang terbelah dua.
Tepat ketika petugas loket yang seragamnya biru merobek tiket sambil berkata:
“Kini telah terbelah jarak antara mu dan dirinya, satu tertinggal di kota ini, dan satu lagi
akan kau simpan. Genggamlah jangan sampai hilang, hingga kau berada di ketinggian.
Dan kau harus merasa berpegangan kepada sesuatu.. Hingga tak sengaja terlepas dari telapak mu”

Lalu anak tangga mengantar tubuhku  pada ruang tunggu yang kursinya abu-abu.
Seperti sebuah perasaan yang kelabu:
Mungkin bandara memang
diciptakan untuk kesedihan.
Mungkin kesedihan
lahir dari perpisahan.

Bandara Ngurah Rai 2011

Selasa, 17 Juli 2012

Denpasar Dini Hari


Kita membuat layang-layang dari kertas dan kau terbangkan di tepi kali;
udara sangat tenang, dan doa mu bergoyang menuju langit.
"Dia akan singgah di kastil-kastil tinggi di atas awan" kata mu setengah menahan laju rindu
yang tak pernah lepas dari genggaman mu.

Apakah yang kau mau jika suatu hari nanti layangan kita mencapai-Nya?
Aku ingin rumah yang menyebabkan bunyi, gerak-gerik, dan gambar-gambar yang menjadi 
pusaran tempat gejolak, inti dalam kobaran.
Tempat memahami mu yang tak pernah berlabuh.

Juga ruang angkasa? 
Bahkan Andromeda, kelak jika aku kembali menemukan mu
di sela-sela kenangan Denpasar pada dini hari,
pada huruf-huruf kita yang hilang
di jajaran lampu-lampu merkuri

Sanur 2012

Kamis, 12 Juli 2012

Cerita Musim Layang-Layang

Kita  bertemu pada suatu musim layang-layang 
di sebuah kota yang telah lama terhapus dari peta 
juga dari ingatan ku tentang jalan menuju rumah mu.
Ketika dulu pernah aku menulusuri setiap tikungannya
Dengan sebotol kunang-kunang dan buku sajak yang
menyimpan nama mu di halaman pertama.
Menyeret tubuhku mencari alamat yang tercecer
di antara tiang-tiang dan pucuk cemara.

Disinilah, di kota ini. Kenangan akan kembali memperbarui dirinya.
Kembali mengingatkan ku bahwa senyum dan perasaan
tidak akan cukup untuk  melawan mereka.
Mereka yang juga seperti kita.
Namun berbicara dengan bahasa yang berbeda.
Mereka yang tidak mengerti bahasa ombak,
tidak mengerti panggilannya yang merambat.
Ketika kita telusuri pantai dengan
pipi yang hangat oleh matahari. Ketika
kau akhirnya menggegam kenangan itu dengan
air mata yang hangat

Di musim layang-layang ini
kita kembali menambatkan diri ke angkasa.
Membumbung menatap senja
dan menukarnya dengan
seluruh hal yang kita miliki

sanur 2011

Solitude


Dari balik jendela kaca, ia menatap hujan yang tidak berhenti turun sepanjang hari ini. Sudah tiga jam ia menunggu dengan gelisah, tatapannya menerawang jauh melewati jalanan yang makin jingga tersiram warna cahaya senja. Cahaya yang juga menyirami perasaannya. Mengapa tak segera hilang kesedihan? Mengapa tak segera berganti senja dengan malam? agar gelap menutupi segala kepedihan yang menyelimuti perasaan agar menghilang tertelan pekat.

Cahaya senja memantul dari aspal, menabrak dinding-dinding toko dan jendela kaca mobil. Membelai rambutnya, memainkan anting-antingnya. Meragukan pandangannya. Sementara bunyi gelas beradu. Musik mengalun pelan. Sepasang perempuan tertawa di ujung restoran. Kesedihan makin mengendap, mengendap ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam.

Teleponnya berbunyi. Suara yang paling ia kenal sepanjang hidupnya terdengar di seberang. Mengucapkan kalimat perpisahan. Angin mengeras. Senja menghilang dari balik gedung-gedung. Menghilang dari kampung-kampung. Dari balik titik gerimis. Dari genangan air yang tersisa. Menghilang menarik segala kebahagiaan ke dalam malam yang pekat.

Ada sisa layangan tersangkut di langit. Ada sisa kebahagiaan yang sia-sia ia pertahankan. Runtuh gelembung air mata. Lampu-lampu jalan mulai menyala, berpendar-pendar. Membentuk untaian panjang cahaya kuning. Malam telah sempurna, bintang-bintang telah muncul di posisinya. Seorang wanita,  menahan tangis tanpa suara. Sendirian.

2012

Kursi no 14F


PESAWAT membawa kerinduan melewati lapisan-lapisan udara tipis.
Langit biru membawa turun hujan yang berlembar-lembar
Kau tak habis-habisnya mengucapkan isyarat kepada lampu
penanda sabuk pengaman yang menyala dalam risau.

KAU peluk dirimu ketika pesawat berguncang. Lengan-lengan mu
menggapai doa yang kau ucapkan ketika tubuhmu masih di bandara.
Tentang keinginan mu untuk merayakan ulang tahun ke 25
di kota seberang. Tentang ucapan yang tak habis-habis
kau amini dan tentang sebuah hadiah sederhana dari seorang laki-laki yang
membantu meniupkan lilin itu hingga padam.

Engkau bertanya pada sayap pesawat yang melingkup.
Engkau mencari-cari jawaban pada setumpuk awan.
Gerangan di mana kau sembunyikan harapan-harapan,
di mana kau letakan seluruh tujuan?

Denpasar haru oleh titik-titik air ketika pesawat mendarat di Ngurah Rai.
Udara dicampuri wangi dupa dan tanah basah.
Angin dan ranting-ranting yang tak memahami mu
tetap terus menemanimu berjalan di atas duka.
Meninggalkan semuanya di Jakarta dengan segenap luka.

Sanur 2011

Tanjung


Senja terasa manis di ujung lidah saat pasir hitam pesisir menggulung 
kita di ujung tanjung Enim: Balada rakit yang di kayuh ke tepi hutan bakau, 
tempat rasa sakit terasa payau

Aku menemukan pecah mu setelah berulang kali di hantam karang,
berdebur suaranya hingga ke muara air mata ku yang gersang
Lalu melebur menjadi buih-buih asin yang merasuk kedalam
luka mu hingga kau menggelinjang
menggenggam tepi layar perahu kita yang
nampak tak imbang

Kau berbisik padaku dengan lirih:
angin terus mengantar ku hingga ke pelabuhan
mendorong busur perahu hingga ke tepian..
Disanalah aku saksikan senja mengingkari janji kita

Lampung 2011