Senin, 29 Oktober 2012

Tentang keberangkatan

Ransel yang sudah padat dengan barang barang
juga harapan harapan tergeletak sembarangan
Engkau masih ingin lebih lama lagi di sini,
sekedar semalam saja untuk berbincang di meja makan.

Namun jam dinding berdetak nyaring,
keberangkatan bukan pekerjaan gampang jika perasaan dan pikiran
disayat sayat rindu. Sambil terpejam kau bayangkan lingkar jalan
baris kursi dan jejeran pohon di tepi jalan. Betapa menakutkan
bertarung melawan rindu sendirian
yang banyak pasukannya. Namun masih ada ranjang, kelambu
kasur yang dingin, bantal serta guling. Juga jas hujan yang tergantung.
Ah, meninggalkan bukanlah pekerjaan mudah jika 
kangen dan cinta mu masih berserak di perkarangan.
Jika beranda dan detik jam seperti berseteru tentang perasaan.

Ketika waktu sudah habis, kau tidak langsung mengucapkan salam
Tapi menarik napas agar dadamu ringan. Kau menarik nafas panjang.
Sambil membuang kalimat kalimat yang sudah lama kau persiapkan.
Dan ingin babak ini cepat berganti. Kau cari empat puluh lima suku kata
Tapi yang muncul tujuh belas sehingga kalimatmu padat dan singkat.
Akhirnya kau hanya diam dan tersenyum, 
Hanya diam dan tersenyum, sambil merindukan waktu untuk pulang.
Tapi akan banyak hal terjadi nanti.
dan kau akan membingkai rindumu dalam pigura,
itulah kenangan yang pernah kau bawa
sambil bergumam merindukan tanah penuh bunga.

sanur 2010

Tentang pikiran pikiran di Pesawat

Pesawat yang mengambang di antar kotamu dan kota itu
di antara udara dan cuaca yang terjebak di ranting ranting pegunungan
dan aku duga sebentar menjatuhkan juga tubuh pesawat
karena tak sengaja tersangkut di salah satu pucuknya,
yang tak henti kemudian berguncang seperti melewati jalan berbatu
yang menampung tubuh ku dan tubuh mu

Lampu-lampu padam kecuali lampu tanda perintah
memasang sabuk pengaman, para pramugari menjadi panik
wajah cantiknya jadi tak menarik

Sejumlah anak kecil menangis, orang orang tua ketir
dan berpegang pada doa, pada lengan lengan Tuhan.

Aku takut dan menghabiskan semua sisa airmata
sebab sungguh tidak tau harus berpegangan di mana

Mana lenganmu? Ulurkan kedua lenganmu!

Maka aku menyembunyikan takut ku dan kedua tangan
ke dalam jarimu yang dangkal dan basah

Aku melihatmu di sana mejaga keseimbangan tubuh
yang juga mungkin tiba tiba limbung
sedang mencari sisi lenganku yang lain untuk berpegangan

Tidak ada yang sanggup aku katakan kecuali ingatan tentang
catatan yang ku tulis sebelum berangkat :

"Tidak ada alasan untuk takut lagi, kau pasti akan tiba
dengan selamat, sebab utuh tubuhmu tertinggal di sini
di tubuhku yang menjaga tabah menunggu selapang padang"

Selepas ku ucapkan itu, tiba tiba terdengar 
satu kalimat dari pengeras suara.
beberapa saat lagi pesawat akan mendarat.

sanur 2010

Kamis, 18 Oktober 2012

Surat Cinta dalam nuansa semiotika

-untuk pernikahan Sisilia dan Eddy


Katakan padaku untuk jangan pernah lari! Meskipun aku tau kamu adalah orang yang benci berlari. Kamu selalu alergi dengan stadion dan taman kota yang menampilkan lingkaran statis yang memaksa kita menelusuri nya. Jangan pernah berlari meski di malam saat kita bercanda melalui diri yang tampil menjadi konsep-konsep abstrak papan ketik dan dua puluh lima menit film biru yang menyuguhkan lintasan lari yang luas dan panjang.

Jangan lari! Jangan membuat dirimu terangah-engah di tengah perjalanan lari mu, lalu membuat indeks tarikan napas mu menjadi begitu sederhana. 
Satu dua satu dua satu dua satu dua satu dua satu dua satu dua satu..

Dua, 
katakan padaku untuk mencegah mu berlari! Karena kadang kamu adalah orang yang bisa
mengubah sederet panjang kalimat-kalimat dalam buku menjadi ladang luas yang membuat mu ingin
segera berlari. Segera dengan kesegeraan yang luar biasa sehingga wujud mu menjadi bias, fisik mu menjadi semu dan eksistensi mu adalah udara tipis yang tidak dapat aku genggam. Sehingga tiba-tiba saja kau telah berlari hingga ke ujung dunia. "Hei lihat aku di sini!" Katamu dengan senyum bias dan warna tubuh yang makin pudar. Lalu sedikit demi sedikit menghilang dan tenggelam dalam lembar-lembar halaman, terselip diantara kalimat-kalimat pasif yang menjepit mu tanpa ampun. Memenjarakan mu dalam lintasan-lintasan tanpa ujung.

Katakan padaku untuk segera merangkul mu ketika kau mencoba berlari. Katakan dengan bahasa
isyarat yang singkat, tak perlu sms atau mengangkat telepon. Tak perlu berpura-pura menanyakan kabar. Cukup katakan saja "Aku ingin lari sekarang.." Maka sejak itu aku akan menjadi tali sepatu mu yang terlepas sehingga memaksa mu menghentikan langkah mu dan membuat mu menunduk, mengikat ku dengan ringan namun juga tak bebas, menyimpulkan ku dengan keharmonisan yang khidmat layaknya upacara. Membuat ku menjadi lebih lengkap dengan keanggunan yang sederhana, dengan kepastian yang menentramkan. Dengan wajah yang tenang serupa air dalam genangan tangan.


Lalu kau membisikan semacam mantera:
"Kini telah aku ikat kau dengan sempurna. Maka aku ingin kau memahami tiap langkah ku, tiap denyut jantung yang membuat setiap gerakan otot ku menuju satu langkah ke depan, mengiringi ku dalam lintasan yang mungkin akan membuat aku tersesat dalam ketiadaan yang tak terbatas. Memahami ku ketika aku harus berlari untuk kemudian berhenti sejenak. Mencegah ku melanjutkan perjalanan ketika kau mulai terlepas, ketika kau mulai terlepas.."

Sanur 2011

Jumat, 12 Oktober 2012

Biji Kapas dan Balai-balai

Di dalam dompet ku ada senyum mu dan kesepian yang amat asing.
Terselip dengan nyaman di antara kartu yang menyimpan nama-nama dan
sederet alamat yang tak pernah aku kunjungi. 

Seluruh rindu tumpah di sana oleh udara yang tersayat sepi.
Aku termenung mengingat mu ketika senja yang hangat dan wangi damar 
mengupas tujuh kalimat yang membawa kenangan tentang bocah ingusan
yang menyeru nama mu dari seberang sungai.

Di rekat hutan jati dan asam manggis, di tengah tandus tegalan
dan suara rindik bambu. Di tungkai ilalang dan ricik subak.
Lahirlah kesepian yang teramat asing, retak di antara jarak kasta.

Aku terjaga,
menyimpan biji kapas untuk asat rindu kita

Denpasar Selatan

Sebuah sajak yang aku tulis sendiri pas sore-sore ketika mendadak aku ingat suatu hal yang kemudian aku letakan di laci meja kerja

Gelas cangkir warna merah pemberian hadiah itu masih aku simpan di tempat semula, kalau-kalau kau pulang suatu kali ketika siang dan matahari sedang jahat padamu. 
Cuci muka dulu lalu lipat sweater mu. Masih ada semangka di kulkas atau kalau mau pisang, aku letakan di meja dapur. 

Televisi masih di ruang tengah. Juga kaktus yang pernah kita beli di pasar malam aku letakan di sebelah telepon yang lama sudah tidak berdering. Karpet abu-abu dan lukisan bali yang tergantung di dinding masih juga di tempat semula. 

KAU sudah minum?

Aku meletakan kamboja hias di halaman belakang. Sebagai variasi dari beberapa anggrek kita yang kini makin jarang saja berbunga, mungkin aku tidak rajin membersihkan dari gulma yang banyak menempel di akar-akarnya yang menjulur. 

Kau kan yang biasanya begitu? 

Kalau sudah sore biasanya tukang bakso yang bunyinya ting ting ting itu lewat di jalan komplek. Kamu yang biasanya sedang menyiram bunga yang warnanya merah kuning itu suka tersenyum. Aku tidak tau apa yang si tukang bakso pikirkan setiap kali kamu begitu, yang aku tau dia suka menambah jatah bakso di mangkok kalau kau mendadak kepengen makan sore-sore.

Kini aku yang sering memindahkan pot-pot itu. Sekedar menatanya biar rapih.
Juga mencari tikus got yang suka sembunyi di belakangnya. Aku ingat kau takut dengan binatang yang mencicit. Biasanya satu dua tetangga menyapa sekedar basa basi, kok sendirian saja? Kalau sudah begitu biasanya aku hanya senyum dan menjawab kau belum pulang. Sungguh di dalam hatiku aku selalu ragu akan jawaban itu.


Denpasar Selatan 2012

Kamis, 11 Oktober 2012

Beberapa hal mengenai satu orang yang sama

-alina

1/
Pada mulanya aku pikir hujan hanya ada di sajak yang di tulis ketika gelisah.
Kemudian ia ternyata ada di mimpi mu yang gelap, di sepasang matamu yang terpejam, di halaman teras rumah mu yang rindu pada desis tetes air yang segera menguap. Di kamar mandi yang mendengarkan keluh mu, di bantal yang menyimpan air matamu, di keran air yang senang membasahi telapakmu. Di pelukan jas hujan yang merangkul pundak mu. Di kalender yang kau lingkari setiap kali ada peristiwa yang membuat dada mu bergetar, di kaca jendela yang selalu lupa kau tutup ketika malam, di rumah mu yang penuh pohon-pohon dan rumput yang mengapung ketika hujan. Di jalan setapak yang selalu kau lewati sepulang kantor, ketika kau harus segera mencuci kaki dan memanaskan air, di gagang telepon genggam yang berpendar-pendar.

2/
Aku juga sering membayangkan hujan datang suatu pagi, mengetuk-ngetuk jendela kamarmu, lalu memaksa masuk kemudian bersembunyi di bawah teritikan bulu matamu. Kemudian kau mendadak teringat sesuatu dan ia segera meluncur ke bilah pipimu. Membuat mu merasa telah merelakan sesuatu terjatuh dan segera pecah menjadi bagian-bagian kecil.

3/
Seringkali aku membayangkan suatu kali ada seorang laki-laki lahir dari sebuah hujan yang mandul. Kemudian jatuh cinta pada kepada mu, kepada sepasang matamu yang lindap, kepada bibir mu yang merekah. Kepada jerit kelopak bunga, kepada kumbang yang bosan, kepada tangkai putik, kepada pantulan kolam, kepada ikat rambut mu, kepada tahi lalatmu.Kepada nafas mu, kepada kematian mu..
Pada mulanya aku merasa hujan mencintai mu.  

gianyar 2010