Kamis, 29 November 2012


jalan

Kita pasrah saja ketika jalan mendadak ngambek,
lalu meminta kita memutar arah.
"Di depan sudah tidak ada lagi tikungan, tidak ada persimpangan, tidak ada cara 
lagi untuk kembali ke tempat asal"

Lalu kita kembali ke arah selatan.
Lho, ternyata matahari sudah menghilang.

Juga engkau.

2011


Sajak Gombal

Jika saja tidak ada huruf A
mungkinkah masih ada aku dan engkau?

2011


Gelembung

Rumput jika di injak apakah menangis?
Pagar jika di tutup dari luar apakah akan rindu?
Sabun yang habis di kamar mandi apakah akan
menjelma menjadi gelembung-gelembung
yang melayang di dalam mimpi mu
ketika kau tidur?

2011


Catatan

Catatan itu tergeletak begitu saja di sudut ruangan,
hampir mati karena kesepian.
Di sebuah sudut yang tidak dapat kau jangkau dengan lengan.
Tidak dapat juga kau jangkau dengan kata-kata..

2011


Kamar

Lampu bertanya pada jam dinding. Jam dinding bertanya kepada
kalender, kalender bertanya kepada kipas angin,
kipas angin bertanya kepada cermin.
Perihal kepergian mu yang tiba-tiba
pada suatu malam bersama mereka,
yang tak mengenal mu.

2011


Petang yang menantang

Pada sebuah petang ia telanjang,
menantang senja yang kemerahan.
Karena malu, sebuah tubuh telanjang dipersembahkan
untuknya.

Senja pasrah ketika lengan-lengan ombak
meraihnya.
Memeluknya ke tengah laut.
meneduhkan sedihnya.
Memeluhkan lukanya.

Pada sebuah petang ia telanjang,
pada pantai yang mengangkang.

2011

Kamis, 22 November 2012

Propaganda upacara bangun pagi dan definisi lari


Saya tidak mencoba untuk berlari, karena saya benci berlari, saya ingin berjalan saja, tapi semua orang berlari. Kucing berlari, gajah berlari, kecoa berlari, tikus-tikus berlari, hingga papan-papan iklan juga terus mengajak saya berlari. Mencoba memahami definisi diri yang makin abstrak dalam kepungan warna merah, kuning, biru, hijau, merah lagi, biru lagi, hijau lagi, hingga semua seragam seperti barisan nisan dalam kuburan yang siap menanti  manusia-manusia yang telah menjelma menjadi Nike, Motorola, Nokia, iPod dan keseragaman telepon genggam layar sentuh.
Saya tidak berlari, saya ingin minum kopi. Saya ingin setiap kali dapat menghitung mundur senja seperti merayakan tahun baru. Berpesta merayakan kelambatan, kehidmatan,  tanpa harus di hantui propaganda usang “time is money” Propaganda yang merayu saya menukarkan waktu dengan uang. Membuat saya lupa bahwa kesenangan tidak bisa di beli dengan apapun. Sehingga saya mencoba untuk menghitung mundur jarak antara saya dengan kematian sambil berbincang soal skor bola dan episode sinetron religi.
Saya ingin mencoba sekali saja tidak berlari tidak juga diam. Saya ingin terbang dan tidak harus ke angkasa. Saya ingin terbang ke sudut-sudut lubuk mata buruh tani, saya ingin terbang ke sela-sela bibir pelacur pinggiran, saya ingin terbang ke bahu kuli-kuli bangunan, saya ingin terbang dan menampar pipi saya. Saya ingin sadar bahwa saya sedang terbang. Melayang ke belantara sajak dan jejeran kalimat puitik imajiner dari Chairil hingga Sapardi, dari Chekov hingga Munir. Dari Kennedy hingga Megawati. Dari jantung ku hingga jantung mu.
Saya ingin mengucapkan selamat tinggal kepada sepatu, namun ternyata saya hanya menjelma menjadi jejeran balok-balok di stadion tempat ribuan orang bersepakat untuk terus berlari setiap kali bangun pagi.

Oh indahnya dunia yang sudah pasti!

Slipi, Jakarta 2012

Rabu, 07 November 2012

Sebelum berangkat

1/
AKU sedang memuatkan dirimu dalam diriku. Di hari sebelum aku berangkat. Sesungguhnya perjalanan adalah persinggahan sementara, fatamorgana antara jejer jendela dan perasaan rindu yang menolak terpendam sebagai rahasia. Besok lingkar cuaca akan menghampiri kita dari setiap kilometer.

2/
AKU ingin pergi jauh dari mati, aku merasa dirimu yang senang mengajakku ke mana-mana, adalah dunia yang luas dan kita berdua berperilaku apapun yang kita mau. Aku mengangankan dirimu dalam diriku di jangkau cahaya yang jatuh ke kening mu ketika kau pulang dari kantor. Sebagai isyarat bahwa jarak pulau ini dan kau di pulau sana adalah serupa kurva limit x mendekati tak terhingga. 

3/
AKU dan seluruh kata-kata dalam pusiku tak mengapa hanya akan menjadi rumusan angka diantara table excel dan setumpuk hasil statistik yang tak menyebut hujan sebagai dirinya yang selalu aku bayangkan menuntun mu melewati tepi trotoar. Dengan begitu, seluruh warta dan perih di antaranya, mengalir menjadi cerita sedih tetang akhir minggu yang sepi ke padaku. Ke titik nadir ku.

(Angin melayang menabrak jendela, aku masih terjaga tanpa alasan. Maka aku tulis puisi yang amat gelap. Sehingga aku bayangkan jika kau tiba di dalamnya. Kita akan saling berpegangan mencari cahaya, menolak terpendam dalam gulita-pada akhir yang tabah)

Slipi - Jakarta 2012

Jumat, 02 November 2012

Senyum, Kabut, dan Perjalanan


Bertahun tahun aku menyusuri senyum mu. Pergi ke segala penjuru arah
Mengikuti setiap petunjuk jalan dan tikungan. Menembus ladang, memotong simpang, hingga liku-liku yang ngilu.

Aku mencatat banyak nama tapi bukan milik mu, menggambar banyak wajah tapi bukan dirimu.
Memilih cuaca tapi bukan untukmu. Mengarungi ombak tapi bukan rambutmu, menghempas diriku
di anak sungai lalu membiarkan tubuhku di rambati  yang bukan air matamu.
Aku mendatangi tebing, menghitung susunan perahu di dermaga, mengunjungi setiap etalase kaca di Jakarta. Merangkai trotoar di jalan jalan jogja. Menabur bunga di setiap pura, hingga meledak di di tepi senja.

Aku mencari senyum mu di ranting ranting pohon kering, galeri galeri seni, buku-buku puisi, hingga panggung panggung pentas yang megah. Aku kembali ke rambatan tiang, ke sudut sudut remang, ke tempat sepi mencari sunyi. Suara riuh pasar, ruap kereta yang terlambat, serta doa doa yang di jual di gerbang makam. Bahkan di pelosok kanvas yang paling suram.

"Senyum mu menjadi rembang di kabut malam"

Aku kasmaran mendengar namamu di sebut di katalog lukisan. Diam diam aku pulang, melewati arah selatan.

Mencari jalan pulang. Siapa tau senyum mu sudah menunggu dengan sabar di rumah, sudah merawat
kembang di halaman, sudah mengunci pintu, meletakan taplak meja dan mengganti keran yang tak pernah berhenti menetes. Terus menerus berulang seperti lagu yang diputar di lobi hotel. Tapi rindu bukan sesuatu yang dapat di nikmati, rindu adalah luka yang menganga siap menghisap tubuh ku ke dalam arus darah mu. Menembus jantung mu, membabat habis oksigen yang kau peluk erat erat. Lalu mengganti nafas mu dengan udara yang kusimpan berabad abad.

"Tuhan, sebutkan keinginan Mu"

Aku berlari hingga ke selokan yang paling hitam. Kususuri tikungan dan gang, ku rampas minuman yang paling keras hingga aku kehilangan siang. Aku mengutuki gerimis yang membawa pulang rindu, serta bulir bulir tetes air hujan di rambut mu yang kuyup suatu pagi, ketika jalan masih lengang dan kau berdiri di sejenak mengeringkan rambut mu di luar.

"padamkanlah nyala di dada mu"

Bisikmu yang terdengar seperti puisi yang tak bisa kumenerti, tak bisa kupahami. Membawaku ke gurun yang lengang, mencecap keterdamparan, meneguk keterasingan. Ingin berlayar, ingin terus mengunjungi setiap tiang dan liang. Mendayung perahu, menggali kubur di tanah sajak. Menunggu senyum mu datang di hari ketiga dan memeluk tubuhku seperti Maryam kepada anaknya. Senyum mu akan bersanding seperti Allah yang memberkati  wajah Isa. Nampaknya senyum mu akan menangis, seperti Denpasar yang diguyur gerimis.

Sanur Seminyak Denpasar Jakarta 2010 - 2012

Tanjung Karang dalam versi lain

1. 
Maghrib jatuh ketika gerimis turun setelah sepanjang siang 
matahari masam menggugurkan kapas yang melayang di aspal
membuntuti ku di antara akasia sepanjang raden intan.

2. 
Aku ingat simpang beringin dan gugur daun
yang melayang menabrak sisi kaca mobil angkutan.
Besiasat meluncur di jalan besar 
bersamaan dengan mata kita yang tak sengaja bersitatap dengan jarak
yang tak lebih dekat dari selebar lengan.

3. 
Ingatkah kau tentang peristiwa daun mangga 
yang jatuh di sisi jendela kita suatu pagi? 
Yang mengingatkan mu tentang beberapa cerita yang telah lampau. 
Tentang keinginan mu untuk segera meninggalkan kota ini. 
Juga kepasrahan mu di setiap doa yang kau baca lalu kau simpan.

4. 
Menulusuri sepanjang rel yang berkarat
seperti menyimpan kenangan jauh di masa lampau,
tentang jalan batu yang berdebu, juga pegangan tangan ibu 
yang membawaku ke tengah pasar.
Serta perihal kereta angin yang aku kayuh secepat rindu bisa melabuh.

5.
Sepi pernah mengisi separuh dada ku, separuh lagi
menjadi ricik dan ranak sungai yang menyuburkan ladang kita 
menjadi hutan hutan hijau yang berdaun lebat.
Tempat aku tersesat di dalamnya.
Memanggil manggil nama mu yang aku lupa wajahnya.
Membacakan puisi di teater terbuka atau sekedar menyaksikan punggungmu yang bercahaya.

6.
Suatu pagi hujan turun dalam simfoni lagu melayu
yang kita nyanyikan bersama sama.
Di selapang pantai putih dan amis masam nelayan di pesisir kota.
Ingat kah kau? Telah sepanjang malam kita menjaring harapan.
Bersama keinginan yang menggigil. Dan sedikit pilu yang mengering.

7. 
Aku pernah bermain main di tepi laut,
berbaring di atas pasir lembut seperti pelepah yang terdampar.
Angin pernah mencium mutiara di ujung rambutku.
"Engkaulah penyair sejati yang membaca sajak dari lembar ombak"
bisiknya, lalu melempar tubuhnya menggiring air laut yang menggulung.

8.
Di jembatan kereta yang tinggi itu,
aku pernah merasa takut untuk tergelincir.
Meski aku lekat menggengam lengan mu,
tapi aku selalu takut ketinggian.
Tunggulah, katanya, kita akan cepat sampai di seberang.

9.
Aku sering berdiri di belakang gedung yang menantang senja.
Melingkari matahari dengan jari telunjuk, lalu menghitung cinta 
sebagai kekayaan. Begitulah caranya agar nampak bahagia.
Sementara kesedihan adalah harga yang di bayar untuk
mengerti arti dari bersyukur.

10.
Maka setiap kali aku melewati jalan jalan lengang ketika pulang, 
ketika rindu seperti senar yang menegang:
Dalam jejer lampu merkuri kusaksikan
Lekat tubuhku di peluk kota ini.
Hangat.

Seminyak - Sanur - Jakarta 2012