Senin, 02 Desember 2013

Catatan dengan sebuah nama

Bagaimana aku tau dirimu yang
tertulis di selembar catatan kecil ;
hanya sebuah nama
tanpa tanda

Dua gelas kopi panas
satu untuk mu dan satu untuk ku
agar kita bisa berbincang sampai larut,
sambil aku membayangkan 
wajahmu adalah segumpal
awan merah muda

mungkin awan yang manis;
karena warnanya mirip
dengan gula gula

Gula gula yang kau minta dari aku
di pesta malam,
setelah purnama ke delapan
Senyum mu mengembang 
lalu berputar putar di kepala;
Coba engkau hitung berapa jerawatku?

Aku suka caramu bertanya, caramu tersenyum,
caramu menggoda, juga caramu melingkarkan lengan
yang membuat udara bergetar.
Membuat fajar nampak perawan, meski yang terlihat
adalah tujuh jerawat di wajahmu.

Jerawat yang seperti titik bintang
yang menjadi arah perjalanan
ke kotamu. 
Setiap kali aku menelusuri tikungan
dan barisan tiang-tiang yang basah.
Di balik kaca jendela yang buram
oleh ribuan kenangan
berdesak desakan

Telah aku niatkan hanya untuk mengantarkan sebuah doa
ke balik selimut mu :

Ketika gerimis berhamburan, kita tidak bergegas,
Ketika jarak menjadi bias,
aku tak mengaduh.
Namun aku selalu berjanji
dalam hati:

Saat nanti kita bertemu lagi, saat rindu sudah jadi bintang yang redup,
saat lubuk-lubuk kesepian telah penuh.
Aku akan mengatakan padamu;
"hati hatilah dengan senyummu, dengan tujuh
rupa jerawatmu, dengan gula gula manis
serupa rambutmu..
Karena hanya dengan itu, 
akan ada seorang pria yang mencatat mu
di sebuah catatan kecil..
Catatan dengan hanya sebuah nama tanpa tanda"

Empat Pertarungan



1/
Kau memberi isyarat lewat cuaca
dan bulu mata
"aku ingin kau bawa aku sampai ujung sungai..
menelusuri keloknya, memahami riaknya, mengasuh ricik air matanya"
Kita berada di antara etalase kaca,
di luar sana gerimis menulis sajak;
Pada dadamu aku melukis liang
kugunakan sebagai tanda untuk pulang
Menelusuri tikungan dan lingkar jalan
di iringi baris kerinduan.

2/
Kau membaca diriku dari seberapa lama hujan turun
yang kau catat di selembar kertas.
Lalu kau lipat dua dan menyelipkan di saku blazermu.
Saat kau ingin pulang kantor dan menunggu bus di trotoar:
Angin memisah misah baris hujan
menjadi sajak yang ingin kubaca untukmu.
Menemanimu berdesakan di metro mini
menelusuri jalan kecil, membuka sepatu,
menangis, lalu luruh di gagang telepon.

3/
Gelang yang pernah kau beli masih melingkar di lenganku,
melingkar seperti kenangan yang berawal dari satu tempat
dan kembali ke tempat yang sama. Melingkar seperti
stadion tempat kau lari pagi setiap minggu. Melingkar seperti
tikungan tempat kita makan bubur ayam setelah semalam
kita menyusuri jalan mencari sepi.
Aku menghitung nyala di matamu,
berapa lama kau butuh waktu untuk percaya
jika jejak bunga yang tersisa di jalan
adalah milik kita yang kehilangan arah.
Karena perbedaan
menjadi satu satunya bahasa yang
dapat kita pahami.

4/
Di tepi pantai kau memilah angin
menghalangi laut merebut ku.
Tapi perjalanan pun terjadi juga,
di suatu sore yang berakhir cacat.
Seperti bayangan tentang masa depan kita
yang tak pernah lahir sempurna.
Aku selipkan jari jariku untuk menggambar hatimu
Meninggalkannya dengan segera
agar kau bisa kembali
memulai hidupmu
meninggalkan aku di kejauhan,
di dermaga dan tiang tiang yang kering.