Rabu, 07 Desember 2016

Semua cemasku adalah sebuah pertanyaan mengapa hari ini hujan turun begitu gelisah

Langit-langit bergeser, senja gemetar, gemetar seperti ciuman mu pada sebuah sore abadi di hari yang patah setelah hujan mengguyur kota, membasahi jalan-jalan, selokan-selokan hingga rumah-rumah tanpa jendela yang mengambang sepanjang aliran sungai yang meluap hingga semata kaki perempuan yang blazernya basah diantara orang-orang melintas dengan kesal karena harus pelan-pelan menghindari lubang di jalan dan air yang menetes dari talang-talang air dan dari setiap payung yang saling bertabrakan di trotoar yang ramai, dari daun-daun, dari mata mu. Mata mu yang nanar, berkejap, gemetar seperti senja yang terbakar yang bergeser-geser seperti awan seperti ombak seperti rambut mu bergulung-gulung memoles lengkung cakrawala dengan dengan cahaya kemerah merahan, kebiru-biruan, keungu-unguan yang memantul ke sana ke mari dari jendela kantor-kantor yang melesat-lesat membelok menyiut memeluk gerak gelisah ku yang menunggu dengan cemas bahwa hari ini akan segera usai dan esok harus kembali di mulai dengan mengucapkan selamat pagi kepada waktu yang melingkar seperti mereka yang rutin olahraga, seperti jalan yang melingkar mengelilingi taman kosong. Seperti titik rindu yang selalu berakhir dengan gelisah, cemas yang turun dengan air bah menghanyutkan segala isi kota dan seluruh kenangan-kenangan tentang mu yang berserakan itu.


Dec, 16