Kamis, 18 Oktober 2012

Surat Cinta dalam nuansa semiotika

-untuk pernikahan Sisilia dan Eddy


Katakan padaku untuk jangan pernah lari! Meskipun aku tau kamu adalah orang yang benci berlari. Kamu selalu alergi dengan stadion dan taman kota yang menampilkan lingkaran statis yang memaksa kita menelusuri nya. Jangan pernah berlari meski di malam saat kita bercanda melalui diri yang tampil menjadi konsep-konsep abstrak papan ketik dan dua puluh lima menit film biru yang menyuguhkan lintasan lari yang luas dan panjang.

Jangan lari! Jangan membuat dirimu terangah-engah di tengah perjalanan lari mu, lalu membuat indeks tarikan napas mu menjadi begitu sederhana. 
Satu dua satu dua satu dua satu dua satu dua satu dua satu dua satu..

Dua, 
katakan padaku untuk mencegah mu berlari! Karena kadang kamu adalah orang yang bisa
mengubah sederet panjang kalimat-kalimat dalam buku menjadi ladang luas yang membuat mu ingin
segera berlari. Segera dengan kesegeraan yang luar biasa sehingga wujud mu menjadi bias, fisik mu menjadi semu dan eksistensi mu adalah udara tipis yang tidak dapat aku genggam. Sehingga tiba-tiba saja kau telah berlari hingga ke ujung dunia. "Hei lihat aku di sini!" Katamu dengan senyum bias dan warna tubuh yang makin pudar. Lalu sedikit demi sedikit menghilang dan tenggelam dalam lembar-lembar halaman, terselip diantara kalimat-kalimat pasif yang menjepit mu tanpa ampun. Memenjarakan mu dalam lintasan-lintasan tanpa ujung.

Katakan padaku untuk segera merangkul mu ketika kau mencoba berlari. Katakan dengan bahasa
isyarat yang singkat, tak perlu sms atau mengangkat telepon. Tak perlu berpura-pura menanyakan kabar. Cukup katakan saja "Aku ingin lari sekarang.." Maka sejak itu aku akan menjadi tali sepatu mu yang terlepas sehingga memaksa mu menghentikan langkah mu dan membuat mu menunduk, mengikat ku dengan ringan namun juga tak bebas, menyimpulkan ku dengan keharmonisan yang khidmat layaknya upacara. Membuat ku menjadi lebih lengkap dengan keanggunan yang sederhana, dengan kepastian yang menentramkan. Dengan wajah yang tenang serupa air dalam genangan tangan.


Lalu kau membisikan semacam mantera:
"Kini telah aku ikat kau dengan sempurna. Maka aku ingin kau memahami tiap langkah ku, tiap denyut jantung yang membuat setiap gerakan otot ku menuju satu langkah ke depan, mengiringi ku dalam lintasan yang mungkin akan membuat aku tersesat dalam ketiadaan yang tak terbatas. Memahami ku ketika aku harus berlari untuk kemudian berhenti sejenak. Mencegah ku melanjutkan perjalanan ketika kau mulai terlepas, ketika kau mulai terlepas.."

Sanur 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar