Selasa, 11 Agustus 2020

Aku begitu terpana ketika hari itu ia mengatakan padaku suatu kata yang menyesakan, hingga kepala yang berdenyut membuat langkah kakiku untuk pulang menjadi gontai dan terseret.. percayakah kau dengan denyut nadi yang dibiaskan matahari hari ini? Dengan detak dan irama serta alunan nada yang diam-diam bersanding seperti tampilan tempayan yang tak pernah di lumat. Siapa menggambar apa? Aku beriak di genangan cahaya pagi, bergetar begitu tau bahwa diriku dinanti oleh sesuatu. Apa menanti siapa? Bukankah penantian hanyalah gundukan keinginan yang tertahan. Kau berkata padaku dengan menahan nanah di matamu.. aku mendera dan menguliti bima sakti untukmu jika kau mau.. dan sandingan wangi kantil dan pelepah kelapa meruap memenuhi kamar. Kita beradu pandang dalam kemelut telanjang, dan berceritalah gerimis malam itu tentang desah desah yang bepaut dengan bisik bintang yang gemerisik. Kita bergelut layaknya dua anak singa yang bemain di padang rumput, telanjang menatap rusa dan mengejarnya di antara stepa dan tundra, kau gigit dan aku menarik, ku hirup dan kau mencengkram.. kita berdua hanyut dalam senja afrika, dan buah kuldi yang terlarang telah kupetik untuk kuletakan di samping meja rias mu.. kau mendekap dalam dadamu.. aku mendesah dalam peluh..

--

Ini adalah bagian dari seri puisi-puisi lama yang di tulis sekitar 2007-2008 di Depok, Jawa Barat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar