Minggu, 27 Januari 2013

Dermaga



Saya sering membayangkan dirimu adalah sebuah dermaga,
dengan semburat langit warna jingga dan suara-suara burung pantai yang ingin pulang.
dengan perahu-perahu kayu yang di tambatkan di tiang-tiang yang lapuk.
Dengan riak-riak kecilnya yang menabrak dinding-dinding busur perahu,
tak terasa namun sanggup membuat mereka yang tak awas
lalu tergelincir jatuh ke dalam laut mu. Dada mu.

Saya juga membayangkan perahu-perahu itu menaruh rindunya di dermaga
ketika merelakan jangkarnya jatuh di bibir mu. Menaruh tanda yang halus
agar perahu itu akan kembali lagi. Seperti sebuah janji yang harus di tepati.

Dermaga juga adalah tempat untuk berlabuh bukan?
tempat perahu bersandar dari liarnya laut, dari petulangan yang jauh
dari ombak yang mengombang-ambingkan anjungan perahu, dari angin yang mampu
merobek layar, menghantam buritan, hingga kemudian pasrah, lalu berharap badai
segera sirna. Lalu kembali menemukan riak-riak kecil itu
pada semburat langit warna jingga
dan suara-suara burung pantai yang ingin pulang

Namun,
Dermaga tanpa perahu hanyalah sebuah deretan tiang-tiang yang lapuk
dengan jembatan kayu yang berderit ketika aku menemukan mu menjelma
menjadi ombak di ujung karang

Banten 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar