Rabu, 22 Februari 2017

Cerita dari Sebuah Kafe

1/
Di kafe ini ada suara mu yang mengendap di kipas angin
yang berputar perlahan lahan 
lalu dihembuskan ke setiap sudut ruangan
ke tempat sepi sepi bersembunyi. 
Menggenangi lantai yang bertabur detik detik, menguap pelan pelan
membentuk menit menit kemudian berulang 
menjadi detak jam yang nanar.

Kadang kecantikanmu melekat luruh di atas panggung,
bersama mikrofon hitam yang berdiri sendirian
disoroti sinar lampu kuning tanpa
tanpa ada suara dan gerak tarianmu
gerak pinggulmu yang mengingatkan ku pada
tikungan dan warung makan, di mana sunyi di hadirkan
bersama kopi kental yang sehitam rindu.

Kerinduan yang tumpah meluber di simpang lampu merah,
saat aku memintamu bernyanyi tembang yang kau selesaikan semalam,
"Mengapa aku tak boleh jatuh cinta..?" hanya kau yang bisa jawab.
Hanya waktu yang tau caranya menjawab.



2/
Aku temukan wangi tubuhmu di sela sela hujan yang tak pernah reda.
Mengerti bahwa kau bisa saja terjebak di sana,
dengan tahi lalat di sudut bibir serta bulu mata yang melengkung seperti busur.
Mendadak kerudungmu telah melingkar di leherku, melingkar dengan lembut 
mengajak aku menari di atas panggung. 
Menjadi teman di pentas mu yang gemerlap. Aku menyukai selera yang kau pilih, warna ikat pinggang,
manik manik merah, gelang perak. Kuning hijau biru, semua melekat dengan wajar. 
Apa yang harus aku katakan? Sungguh aku ingin menikmatimu dari sudut-susut kesepian,
merekam semua yang lewat, menulis sajak tentang rindu yang mengalun pelan pelan.



3/
Dengan bintik bintik getir, aku merangkai susunan kalimat dari matamu yang bergetar setiap kali kau bicara, 
ketika cinta itu ku bawakan juga. Lengan mu kau kibarkan
melenggang menghantar pesan ke hatiku yang rawan.
Teruslah menggoda, teruslah mengisi setiap dada laki laki yang memar. 
Sampai setiap nyala telah dipadamkan. Sampai tak ada lagi sorot mata yang menawan,
hanya suara parau yang mengiringi, saat kau merendahkan bajumu.
"Aku ingin menjadi ibu.." 
bisikmu ketika rindu mekar di jalanan.


4/
Sore ini aku kembali ke restoran,
menyusun setiap titik kenangan menjadi garis garis yang saling bertautan.
Ada suara piano terdengar dari seberang meja.
Entah siapa mereka yang tanpa sengaja mengirim luka itu ke mari. 
Kesedihan bercecer hingga ke lantai, aku bongkar luka
kutemukan ladang terbakar dan gurun pasir yang menganga.

Dan kau belum datang juga,
atau kau memang tak akan pernah datang..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar