Senin, 06 Februari 2017

Musim Panjang di Teras Rumah

Oktober
Getir air sungai itu kini
telah susut, gemericiknya tak lagi
mengalir di pandan busur 
lengkung senyum mu seperti dulu.
Di ujung pagi. Diantara batas 2 kota 
yang kini terpisah sebuah 
pohon Akasia yang 
ranting-rantingnya 
telah patah

Desember
Irama wangi pasar
dan siut kereta
saling berselisihan
di antara sepi
dan rindu yang 
mengambang
di dalam 
mimpi-mimpi kita
tentang sebuah
rumah
dengan sepasang pagar 
dan
perasaan rawan
yang selalu hadir
setiap kali musim hujan

Februari
Berikut juga kenangan 
tentang
sajak-sajak kita yang
lahir
di sebuah teater
tanpa sutradara.
Di bawah pohon
beringin tua
yang daunnya
menguning
berguguran 

April
Dulu, ketika musim 
kemarau tiba, kau akan
mengantar layangan
dengan rantai
sepeda
yang kau kayuh
sepanjang rel kereta
yang bergetar
menyampaikan
rindu ku
yang mengeras
memanggil mu
dari pulau
yang jauh

Agustus
Terpisah selat
penuh
gelombang
lengkung
bergulung
hitam serupa
rambutmu
yang memecah 
kenangan
sepanjang bukit 
kapur 
di Tanjung Karang
yang gugur
oleh musim
kenangan

September
Kini cerita-cerita di koran 
adalah cerita sajak di kala
sore yang mendung
saat kita pernah sama-sama
membayangkan
laut meluap
menelan kota
menghanyutkan
dirimu
yang terbawa arus
bah melepaskan
dirimu 
dari diriku
lalu seisi 
langit
tumpah 
ke bumi
menghantam
pohon-pohon
rumah-rumah
masjid-masjid
gereja-gereja
bengkel-bengkel motor
rumah sakit
kelenteng, gedung dpr
hingga
kita begitu
takut, lalu terlelap
dengan sepasang
tubuh yang 
basah 

November
Kini
Di ujung jalan sana
Di kelokan ketiga
Sebelum alun-alun itu
setiap sore
kau
menguap

Menjelma musim


Singapore 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar