Kamis, 21 Agustus 2025

Semak-Semak

Dulu sekali di halaman rumah kami tumbuh semak-semak
Ayah seringkali meludah di sana

"Cih! Hidupmu itu jangan seperti rumput, tumbuh hanya untuk dinjak-injak"
Begitulah yang dia ucapkan setiap kali memotong belukar itu.

Ayah benci sekali dengan semak-semak.
Tapi aku justru mencintai mereka,
para begundal yang tak rela mati
meski setiap bulan kami bakar.

Setelah dewasa, aku mulai menanam semak-semak dalam kepalaku.
Menutupi kegersangan, dan kerontang yang mendidih.
Di sana aku membangun rumah dari alang-alang,
rumah sederhana tanpa rencana,
beralaskan rumput dengan pintu daun talas.

Setiap malam aku duduk di ambalan terasnya, 
menegur angin yang mengacak-acak daun, 
menunggu hujan membawa bau tanah basah  

Dalam senyap itu, seringkali aku dengar
sayup-sayup suara ayah meludah.

Agustus 2025

Rabu, 20 Agustus 2025

Upacara Bendera

"Satu tiang untuk semua!"
Kata ibu guru kepada murid-muridnya.

"Hormat kita kepada bendera!"
kata kepala sekolah kepada
tukang telur gulung di warung sebelah.

"Siap ndan!" Begitu katanya,
tidak kepada siapa-siapa. 

Jalanan senyap,
angin mengendap,

langit memar

Dalam batinnya tersimpan kenangan
ketika dia menaikan bendera waktu masih sekolah.

Bendera itu naik ke langit, gagah memandanginya
dari atas. Begitu tinggi. 

"Bu, aku ingin menjadi bendera!"
Ibunya yang sudah pusing lalu menempelengnya. 
Bocah edan!

Malam itu ia bermimpi,
Ia benar-benar jadi bendera.

Berkibar sendirian
di halaman sekolah.

Agustus 2025

Minggu, 10 Agustus 2025

Tangga Ular

01/

Seorang teman kutemui sedang meminum hujan di coffee shop. 
Ramalan cuaca hari ini mengatakan 70% wilayah akan terkena lara. Sisanya terpantau akan terendam duri hingga kelopak mata, seorang pewarta membacakan berita di televisi tanpa penonton, hanya ada kami berdua dan seorang barista sedang tertidur di pojok.

Ou! Pahit banget, bangsat!
Kata teman ku itu sambil mencelupkan bulan ke dalam cangkirnya. 

Aku dengarkan saja ocehannya, lalu ia berbisik padaku:

"Aku bermimpi melihat dirimu diseret.
Bajumu koyak, tubuh mu jatuh di badan aspal,
kepala mu dilindas kereta, hei.. kamu harus waspada!"

02/

Aku nanar memandang wajahnya
   yang terlilit
       puluhan ular

Hampir seluruhnya tertutupi.
    Hanya satu matanya
        mendelik
            tercekik

Terlilit ular.
   Perlahan menyekap pikirannya
      Retak

Di cangkir ku,
  aku lihat
     bayangan ular itu
         Membius

Agustus 2025

Kamis, 31 Juli 2025

Selisih dalam Muara

01

Lalu, deru gemuruh batu-batu itu menelan kebisingan dalam kepala ku,
satu per satu makna yang telah dipahami tujuannya mengucapkan selamat tinggal

"Sampaikan salam ku pada tanda tanya, kepada titik-titik yang tanggal tanpa jawaban.."

Kata mereka di antara sayup-sayup deru motor
membawa mu ke ujung jalan tertelan tikungan.

02

Langit sore mengelus tembok-tembok kota hingga membara.
Dalam suasana khusuk yang panjang, seorang muazin berdoa di surau yang becek:

Tuhan, kini kekosongan telah merajalela di mana-mana, 
membungkam segala kebisingan, memusnahkan keinginan.
Tuhan, maafkan kegelisahan kami. 

Ricik tipis suara air dalam muara nadi mu mengalir
deras, sekelebat. Membanjiri saraf di ujung pori-pori.

03

Mari kita mencuci muka, membersihkannya dari abu api yang
membakar puncak-puncak udara.

Bunga-bunga menjerit diatas retak tanah yang mengerang,
terguyur air dalam serat kemarahan
yang tersisa hari ini.

Agustus 2025


Senin, 17 Maret 2025

Babak 2 (Prolog)

Kaca pecah dalam diriku, lalu kegelapan mengamuk,
cahaya surut di ujung mata.
Di sana, aku bersalaman dengan sunyi (akhirnya sampai juga),
ia memelukku sambil berkata:

""Derita adalah derit laci yang tak pernah kau buka,
di sana tersimpan rahasiamu yang tertulis dengan api."

Asap membumbung di jalan-jalan,
membutakan burung-burung,
menyekap doa-doa.

Udara pedih, langit terbakar,
pintu telah dikunci, selimut telah digelar,
waktu telah habis.

Sia-sia.

Maret 2025

Babak 1

1/

Lihat di sana, luka terselubung dalam lipatan celana,
sebab cuaca tak pernah bisa ditebak maunya apa.
Kau pun buru-buru menyimpan ragu itu
ke dalam kotak makan berwarna biru.

"Untuk nanti," katamu.
Bekal untuk perjalanan panjang
menuju janji yang tak pernah sepakat:
haruskah ditemani atau ditepati?

2/

Kau memahami bahwa mungkin saja
ada kelok di ujung sana.
Mungkin saja, setelah segala upaya,
hal yang kau maklumi
ternyata harus diperbaiki.

Kita tak mungkin lagi berputar arah,
sebab kota sudah terendam oleh air mata,
gelombangnya membawa segala sumpah dan
sampah yang pernah kita buang ke dalam kepala.

Ke sana, ke mari. Kau terombang-ambing.
Celanamu basah, lukamu membusuk. 

Mar 2025