1/
Di kafe ini ada suara mu yang mengendap di kipas angin
yang berputar perlahan lahan
lalu dihembuskan ke setiap sudut ruangan
ke tempat sepi sepi bersembunyi.
Menggenangi lantai yang bertabur detik detik, menguap pelan pelan
membentuk menit menit kemudian berulang
menjadi detak jam yang nanar.
Kadang kecantikanmu melekat luruh di atas panggung,
bersama mikrofon hitam yang berdiri sendirian
disoroti sinar lampu kuning tanpa
tanpa ada suara dan gerak tarianmu
gerak pinggulmu yang mengingatkan ku pada
tikungan dan warung makan, di mana sunyi di hadirkan
bersama kopi kental yang sehitam rindu.
Kerinduan yang tumpah meluber di simpang lampu merah,
saat aku memintamu bernyanyi tembang yang kau selesaikan semalam,
"Mengapa aku tak boleh jatuh cinta..?" hanya kau yang bisa jawab.
Hanya waktu yang tau caranya menjawab.
2/
Aku temukan wangi tubuhmu di sela sela hujan yang tak pernah reda.
Mengerti bahwa kau bisa saja terjebak di sana,
dengan tahi lalat di sudut bibir serta bulu mata yang melengkung seperti busur.
Mendadak kerudungmu telah melingkar di leherku, melingkar dengan lembut
mengajak aku menari di atas panggung.
Menjadi teman di pentas mu yang gemerlap. Aku menyukai selera yang kau pilih, warna ikat pinggang,
manik manik merah, gelang perak. Kuning hijau biru, semua melekat dengan wajar.
Apa yang harus aku katakan? Sungguh aku ingin menikmatimu dari sudut-susut kesepian,
merekam semua yang lewat, menulis sajak tentang rindu yang mengalun pelan pelan.
3/
Dengan bintik bintik getir, aku merangkai susunan kalimat dari matamu yang bergetar setiap kali kau bicara,
ketika cinta itu ku bawakan juga. Lengan mu kau kibarkan
melenggang menghantar pesan ke hatiku yang rawan.
Teruslah menggoda, teruslah mengisi setiap dada laki laki yang memar.
Sampai setiap nyala telah dipadamkan. Sampai tak ada lagi sorot mata yang menawan,
hanya suara parau yang mengiringi, saat kau merendahkan bajumu.
"Aku ingin menjadi ibu.."
bisikmu ketika rindu mekar di jalanan.
4/
Sore ini aku kembali ke restoran,
menyusun setiap titik kenangan menjadi garis garis yang saling bertautan.
Ada suara piano terdengar dari seberang meja.
Entah siapa mereka yang tanpa sengaja mengirim luka itu ke mari.
Kesedihan bercecer hingga ke lantai, aku bongkar luka
kutemukan ladang terbakar dan gurun pasir yang menganga.
Dan kau belum datang juga,
atau kau memang tak akan pernah datang..
Rabu, 22 Februari 2017
Senin, 06 Februari 2017
Musim Panjang di Teras Rumah
Oktober
Getir air sungai itu kini
telah susut, gemericiknya tak lagi
mengalir di pandan busur
lengkung senyum mu seperti dulu.
Di ujung pagi. Diantara batas 2 kota
yang kini terpisah sebuah
pohon Akasia yang
ranting-rantingnya
telah patah
Desember
Irama wangi pasar
dan siut kereta
saling berselisihan
di antara sepi
dan rindu yang
mengambang
di dalam
mimpi-mimpi kita
tentang sebuah
rumah
dengan sepasang pagar
dan
perasaan rawan
yang selalu hadir
setiap kali musim hujan
Februari
Berikut juga kenangan
tentang
sajak-sajak kita yang
lahir
di sebuah teater
tanpa sutradara.
Di bawah pohon
beringin tua
yang daunnya
menguning
berguguran
April
Dulu, ketika musim
kemarau tiba, kau akan
mengantar layangan
dengan rantai
sepeda
yang kau kayuh
sepanjang rel kereta
yang bergetar
menyampaikan
rindu ku
yang mengeras
memanggil mu
dari pulau
yang jauh
Agustus
Terpisah selat
penuh
gelombang
lengkung
bergulung
hitam serupa
rambutmu
yang memecah
kenangan
sepanjang bukit
kapur
di Tanjung Karang
yang gugur
oleh musim
kenangan
September
Kini cerita-cerita di koran
adalah cerita sajak di kala
sore yang mendung
saat kita pernah sama-sama
membayangkan
laut meluap
menelan kota
menghanyutkan
dirimu
yang terbawa arus
bah melepaskan
dirimu
dari diriku
lalu seisi
langit
tumpah
ke bumi
menghantam
pohon-pohon
rumah-rumah
masjid-masjid
gereja-gereja
bengkel-bengkel motor
rumah sakit
kelenteng, gedung dpr
hingga
kita begitu
takut, lalu terlelap
dengan sepasang
tubuh yang
basah
November
Kini
Di ujung jalan sana
Di kelokan ketiga
Sebelum alun-alun itu
setiap sore
kau
menguap
Menjelma musim
Singapore 2017
Langganan:
Postingan (Atom)