Dulu sekali di halaman rumah kami tumbuh semak-semak
Ayah seringkali meludah di sana
"Cih! Hidupmu itu jangan seperti rumput, tumbuh hanya untuk dinjak-injak"
Begitulah yang dia ucapkan setiap kali memotong belukar itu.
Ayah benci sekali dengan semak-semak.
Tapi aku justru mencintai mereka,
para begundal yang tak rela mati
meski setiap bulan kami bakar.
Setelah dewasa, aku mulai menanam semak-semak dalam kepalaku.
Menutupi kegersangan, dan kerontang yang mendidih.
Di sana aku membangun rumah dari alang-alang,
rumah sederhana tanpa rencana,
beralaskan rumput dengan pintu daun talas.
Setiap malam aku duduk di ambalan terasnya,
menegur angin yang mengacak-acak daun,
menunggu hujan membawa bau tanah basah
Dalam senyap itu, seringkali aku dengar
sayup-sayup suara ayah meludah.
Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar