Angin pengarak pagi terdampar di depan kamar ku
pada hari minggu ketiga setelah akhir November.
Siut bubungnya mengajak aku turun ranjang
dan melompat ke halaman. Menyerahkan diri menjadi
kata-kata dalam sajak yang di ucapkan kelak
ketika suatu saat nanti kamu ingat pada ku.
Waktu nanti, tumpahlah rindu berderai-derai
dari langkah mu yang tergesa-gesa
memasuki halaman rumah. Melompati pengandal
yang aku letakan sebagai penahan pagar
agar tak rebah.
Aku melihat mu membawa jenang putih dalam mangkok
yang terbuat dari daun pisang lalu ditaburi dengan gula merah
yang diiris tipis diatasnya.
Mata mu lekat seperti madu, rambut mu merah
seperti jagung. Senyum mu terasa cecap manis di
ujung bibir..
Pohon mangga menyambut kita dengan gelisah.
Cahaya matahari susut berhambur di sela-sela daunnya.
Sebagian jatuh ke pundak mu hingga nampak bercahaya
bumbung angin hening berhembus.
kita berdua diam dalam
sepi yang menghunus
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar