Selasa, 11 Agustus 2020

Kering

Aku ingin cerita tentang ini dan itu

karena apa adanya diriku menelantarkan tubuhku ke dalam linangan

layaknya layang-layang terpaut ranting-ranting

rasanya malas saja kalau harus seperti itu

rasanya asing saja jika mau seperti itu

tikar di lantai kamar bilang padaku;


telantarkan tubuhmu kemari

kupeluk dengan ikhlas dirimu

tidak seperti mereka yang membuat udara diantara tubuhmu.


o, rasa sakit dan gurun-gurun yang bergeser geser setiap kali

kau lihat benang-benang terpaut antara mereka


aku tau itu..


Kupu-kupu yang tersesat di jendela nanar memandang diriku

telanjang berlipat tikar, seperti kremasi sebuah jiwa yang tak rela untuk dilepas.


Kupu-kupu dijendela merasa asing

kupu-kupu di telaga yang kucari hinggap di mawar kering

yang kuletakan di rusuk kiri bagian bawah

 

Gurun dalam hatiku bergeser-geser lagi

bergerak-gerak nanar kesana kemari

geli rasanya

sakit rasanya

kering

perih..

 

Depok, April 08


--


Puisi adalah bagian dari kumpulan puisi-puisi lama yang di tulis sekitar 2007-2008 di Depok, Jawa Barat.

Kadangkala ada kera yang menemukan pisang emas di selipan pepohonan Mungkin saja karena hilang akalnya ia lalu membawanya hingga bertemu seorang pemburu yang tak berpanah.

Jangan harap kau mampu lolos, karena parangku akan memburumu hingga telaga terakhir. Teriak sang pemburu ketika melihat kera itu melompat dari satu dahan ke dahan lainnya. Kera itu begitu cepat, dengan sekilas ia berujar; tangkaplah aku ketika senja menjadi merah namun matahari masih enggan terkubur di sekitarnya.. Sang pemburu naik pitam kemudian mengejar dengan sebilah parang di lengan kanannya dan segenggam sirih di tangan kirinya. Akan kuiris dagingmu dan kuselipkan daun sirih ini hingga kau berharap untuk tidak mempercayai Tuhan.


Maka terdengarlah suara gemuruh si pemburu dan kera yang berkejar-kejaran di hutan, suatu saat suaranya nampak seperti percintaan singa yang sedang berahi namun kadang kala nampak seperti suara jeritan roh-roh yang tersiksa di bumi. Mereka berkejaran terus-menerus hingga peluh memenuhi tubuh mereka, makin lama peluh itu makin banyak dan membuat anak sungai di setiap langkah yang mereka. Dan dari anak sungai itu lahir kehidupan-kehidupan baru yang terkutuk, makhluk-makhluk dengan rupa yang ganjil bangkit dan menteror di setiap desa dan kota. Makhluk terkutuk itu rupanya seperti monyet yang terbalik hidungnya dan lengannya seperti lengan manusia yang membengkak dengan bulu-bulu kaku seperti bulu kuda, bau tubuh mereka sangat busuk. Nanah bercampur peluh selalu keluar dari pori-pori mereka yang besar-besar. Mereka merampok dan memperkosa para penduduk, hingga kesengsaraan adalah cerita biasa. Anak-anak menjadi busuk otaknya dan para pemudanya menjadi kering lengannya, para orang tua kehilangan kebijaksanaanya. Dunia menjadi ladang kematian bagi yang masih tersisa, sementara pemburu dan kera itu masih berkejaran hingga mereka temukan telaga yang terakhir. Tak pernah ada yang tau bahwa keduanya telah mencintai satu sama lain, mereka sesungguhnya adalah satu, berpadu dan bercampur, mereka mengejar senja yang tak pernah tenggelam agar janji mereka tak pernah terpenuhi. Mereka menyayangi dengan rumit, mereka mengasihi dengan unik. Tapi pernahkah kau tau siapa mereka? Menurut seorang tua yang tersisa aku diceritakannya bahwa pemburu itu adalah manusia yang paling buruk sifatnya di dunia, dan kera itu adalah nafsu manusia yang menjelma menjadi kera dan lari ke hutan. Tak pernah aku tau kebenaran cerita itu, mungkin aku tak mau tau, tapi bukankah para orang tua kini telah hilang kebijaksanaanya.. jadi terserah padamu untuk percaya atau tidak dengan cerita yang kuceritakan tadi..

--

Ini adalah bagian dari seri puisi-puisi lama yang di tulis sekitar 2007-2008 di Depok, Jawa Barat. 

 

Aku begitu terpana ketika hari itu ia mengatakan padaku suatu kata yang menyesakan, hingga kepala yang berdenyut membuat langkah kakiku untuk pulang menjadi gontai dan terseret.. percayakah kau dengan denyut nadi yang dibiaskan matahari hari ini? Dengan detak dan irama serta alunan nada yang diam-diam bersanding seperti tampilan tempayan yang tak pernah di lumat. Siapa menggambar apa? Aku beriak di genangan cahaya pagi, bergetar begitu tau bahwa diriku dinanti oleh sesuatu. Apa menanti siapa? Bukankah penantian hanyalah gundukan keinginan yang tertahan. Kau berkata padaku dengan menahan nanah di matamu.. aku mendera dan menguliti bima sakti untukmu jika kau mau.. dan sandingan wangi kantil dan pelepah kelapa meruap memenuhi kamar. Kita beradu pandang dalam kemelut telanjang, dan berceritalah gerimis malam itu tentang desah desah yang bepaut dengan bisik bintang yang gemerisik. Kita bergelut layaknya dua anak singa yang bemain di padang rumput, telanjang menatap rusa dan mengejarnya di antara stepa dan tundra, kau gigit dan aku menarik, ku hirup dan kau mencengkram.. kita berdua hanyut dalam senja afrika, dan buah kuldi yang terlarang telah kupetik untuk kuletakan di samping meja rias mu.. kau mendekap dalam dadamu.. aku mendesah dalam peluh..

--

Ini adalah bagian dari seri puisi-puisi lama yang di tulis sekitar 2007-2008 di Depok, Jawa Barat. 

Senin, 10 Agustus 2020

Mari berpacaran di kuburan

Entah karena peduli apa hingga aku menghadiahkan kau seikat malaikat maut dalam buket kafan terbaik.

Kau menciumku dalam keabadian ketika hari itu kuberikan hadiah itu berikut hujan yang lupa untuk berhenti

Tanpa peduli, kita berpacaran di kuburan bersama bunga kamboja dengan iringan tahlil dan air mata yang menguap di tanah merah


Kranggan, Pondok Gede. 2008

--

Ini adalah bagian dari seri puisi-puisi lama yang di tulis sekitar 2007-2008 di Depok dan Kranggang, Jawa Barat. 



Bicara tentang cinta yang tanggung

Karena tanggung, maka aku merasakan jika kabut sering kali turun diantara jarak nafas ku dan nafas mu
Kamu berkata dengan kalimat tak selesai, aku menjawab dengan tergesa-gesa
Karena tanggung, maka udara sering kali menjadi gas asing yang menghalangi diantara auramu aura ku

Kenapa harus begitu?
Semenjak aku bercerita tentang senja dan sore
dan terselip gerimis, aku berpaling dari nyawa dan kata-kata yang
terbatas artinya. Meledak perasaan di dada..

karena tanggung, suara ku sedikit tertahan setiap kali wajah mu dan wajah kita berpandang.. 

Depok, 2008

--

Ini adalah bagian dari seri puisi-puisi lama yang di tulis sekitar 2007-2008 di Depok, Jawa Barat. 

 

Menangisi Diri

Bagaimana caranya aku begitu lupa ketika hari itu
aku menemukan sedikit nada di telingaku yang telah lama
mendengarkan bingar mereka

Bagaimana pula caranya tiba-tiba itu melesat begitu saja
sehingga aku benar-benar yakin
bahwa tangis hanyalah bagi yang mencintai kenangan

Aku membusungkan dada di hadapan sore yang terbenam
sementara di tengkuk ku tergores riak yang diam-diam
berkata:

Jika ini sakit, kau sudah rasa segala nikmat, namun kau alpa
hingga yang berkuasa menurunkan sedikit sesal untukmu

Aku diam, sementara Kau tabur burung-burung camar di atas sore
yang kini telah sunyi..

Depok 2007

--

Ini adalah bagian dari seri puisi-puisi lama yang di tulis sekitar 2007-2008 di Depok, Jawa Barat. 

Rabu, 07 Agustus 2019

Dalam Kata Kita

Dalam api
ada luka

Dalam luka
tersimpan kata

Dalam kata ada kita yang
mengalir seumpama selembar daun yang
terbawa arus sungai timbul tenggelam
diantara suara riak dan
riang tawa batu-batu

Selasa, 06 Agustus 2019

Mei

Jika sore begini, sementara pintu pagar belum lagi terbuka.
Aku merasa ada yang berdesir di dada,
masuk lewat celah-celah waktu
yang saling berhimpit, berdesakan
hingga udara terasa sempit 


Di luar, ada kucing lompat
dari atas pagar
dekat pohon jambu,
di seberang jalan raya 


Ada satpam yang memperhatikan
dari gardu sebelah sana
Ada perempuan berlari
dari ujung gang
Ada cuaca  yang menyimpan hujan
untuk nanti malam


“Halo.. kamu di mana?” 


Cemas terasa makin basah
merembas kedalam rumah
hingga menggenang
ke dalam pikiran

Membayangkan  dirimu nun jauh di sana. 

menengadah di bawah langit
yang makin memerah 

Luka


Dalam setiap gerak, aku ijinkan nafasmu 
menghempas dalam aliran darah ku
Tapi tidak

Dalam diam, aku ijinkan bibir mu
mematik pikiran ku berkelana
Tapi tidak

Dalam perih, aku ijinkan luka mu
mengeras dalam mimpi ku

Senin, 17 Juni 2019

Pesulap

1/
Aku ingin kau menjadi bulan november yang lengket merekat pada ingatanku tentang jalan berbatu menanjak mengitari bukit menuju rumah tempat kita mulai lagi menghitung kata dan menyaring makna. Percakapan kita tanpa suara, busana kita tanpa sutra.

2/
Jantung kita berdetak bersahut-sahutan dengan nyanyian api, tarian serangga, dan gendang bongkahan batu. Semua merayakan, mempertegas kesunyian. Khusyuk di telan puisi.

3/
Kata-kata berserakan di sepanjang jalan yang berliku seperti cerita yang tak selesai perihal cuaca yang terlunta-lunta mengajarkan kita memahami kedalaman udara. Bahasa angin dan paras bunga-bunga.


Singapura
2019

Sabtu, 01 Desember 2018

Ekstrimis Pesimis

Landai, itulah sebuah jenjang waktu ketika aku mulai masuk ke dalam kantung pikiran ku yang penuh dengan perkara, cita-cita yang pengecut dan kecanggungan, seperti jalur bulir-bulir biji kabut mimpi yang ku rajut lalu ku urai kembali, ku rajut lagi, ku urai lagi. Seperti permainan bola tanpa gol yang penuh lika-liku dan luka-luka.

Namun wasit sudah menentukan, aku harus maju ke depan, tanpa pilihan. Pistol sudah di kokang, landasan pacu sudah di gelar, penonton sudah gempita. Sorak-sorak buyar dari bangku penonton..

Dor!